27 Juli 2016 kemarin, persis 20 tahun peringatan kerusuhan 27 Juli 1996 (kudatuli), panggung politik Indonesia ditandai dua peristiwa penting.
Kedua peristiwa penting itu tidak ada hubungannya dengan kerusuhan yang terjadi 20 tahun lalu, tapi barangkali dari sana kita bisa memahami kenapa peristiwa kudatuli tetap kelam menjadi lembar catatan hitam dalam sejarah politik di Indonesia.
Peristiwa pertama terjadi siang hari di Istana Negara yaitu pengumuman perombakan kabinet (reshuffle) oleh Presiden Joko Widodo.
Peristiwa kedua adalah kepastian Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang akan maju melalui jalur partai politik.
Kepastian itu disampaikan Ahok, panggilan Basuki, dalam acara silaturahmi Teman Ahok dan partai politik pendukung di markas Teman Ahok di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.
Apa persamaan kedua peristiwa itu?
Keduanya sama-sama menyiratkan bahwa politik itu adalah sesuatu yang lentur. Benar dan salah adalah sesuatu yang relatif tergantung kepentingan politik sedang condong ke mana.
Tidak ada hitam putih dalam politik, tapi abu-abu. Mereka yang bermain dalam gelanggang itu harus paham bahwa kebenaran acapkali berada pada titik kompromi.
Itulah real politik di mana pun.
Perombakan kabinet
Kita sungguh mengapresiasi komposisi baru kabinet hasil perombakan kemarin yang banyak berpusat di sektor ekonomi. Kita pun percaya bahwa Presiden memiliki tolok ukur kinerja yang dijadikannya dasar penyusunan kabinet baru.
Secara obyektif, pasar dan pelaku usaha menyambut dengan optimis masuknya kembali Sri Mulyani sebagai menteri keuangan. Indeks harga saham gabungan hari itu ditutup menguat 0,95 persen atau naik 49,99 poin ke level 5.274,36.
Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Tito Sulistio mengatakan, kenaikan IHSG menyiratkan kepercayaan investor atas komposisi baru kabinet Jokowi. Menurut Tito, apa yang dilakukan Jokowi bukanlah perombakan tapi penyempurnaan.
Kita tentu senang dengan apresisasi di sektor keuangan ini.
Meski begitu, kita juga tidak bisa menutup mata bahwa perombakan kabinet kemarin merupakan upaya Jokowi mengakomodosi kepentingan Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional yang menyusul merapat mendukung pemerintah.
Masuknya dua partai ini menandai kemenangan politik Jokowi di parlemen atas Koalisi Merah Putih pimpinan Gerindra.
Hanura juga harus merelakan jatahnya di Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi setelah Yuddy Chrinandy digusur dan digantikan oleh politisi PAN Asman Abnur.
Sebagai kompensasinya, jatah pos Hanura dinaikkan levelnya di kementerian koordinator. Tokoh lawas Wiranto, Ketua Umum Hanura, didapuk menjadi Menteri Koordinator Politik dan Kemanan yang sebelumnya diduduki Luhut Binjar Panjaitan. Luhut digeser ke Kementerian Koordinator Maritim menggantikan Rizal Ramli.
Kita lantas mahfum, dalam politik, wacana “dukungan tanpa syarat” yang begitu populer ketika pilpres 2014 kemarin adalah sebuah drama politik belaka.
Tidak ada makan siang gratis adalah ungkapan yang tidak perneh meleset dalam politik. Jangan pernah percaya jika nanti-nanti Anda kembali mendengar kalimat “dukungan tanpa syarat”.
Baca: Setya Novanto: Kami Dukung Pak Jokowi Jadi Presiden Lagi Tahun 2019.
Ahok
Malam harinya, di Kemang, kita juga menyimak sebuah kelenturan politik yang ditunjukkan Ahok. Dukungan 1 juta KTP yang menumpuk di markas Teman Ahok hanya akan menjadi onggokan sampah.
Ahok membatalkan niatnya maju di jalur independen. Di Kemang, Ahok memastikan maju melalui jalur partai politik dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 mendatang.
Dengan dukungan tiga partai politik yaitu Golkar, Nasdem, dan Hanura, Ahok mengantongi tiket syarat minimal 20 persen total kursi DPRD DKI Jakarta terpenuhi, yaitu 24 kursi.
Pilihan yang rasional. Ia tidak perlu bersusah payah menempuh mekanisme verifikasi KTP dukungan yang sulit yang berpotensi menggugurkan pencalonannya.
Sejujurnya saya berharap Ahok tidak tergoda partai politik. Bagi saya, KTP dukungan atas Ahok adalah representasi kekuatan masyarakat sipil yang ingin mendekonstruksi kebekuan koridor partisipatif dalam partai politik, bukan semata-mata harapan bahwa Ahok akan kembali menjadi gubernur.
Saya membayangan akan menyaksikan sebuah pertunjukan partisipasi politik yang dahsyat dan otentik untuk pertamakalinya di Indonesia jika Ahok memilih tetap maju di jalur independen.
Tapi sudahlah, politik memang selalu bicara soal menang kalah. Pilihan Ahok maju melalui jalur partai politik adalah pilihan paling rasional untuk menang.
Sementara itu, di tengah ingar bingar perombakan kabinet dan keputusan Ahok, peristiwa kelam 27 Juli tetap teronggok di pinggir arena. Sepanjang 20 tahun ia tetap menjadi peristiwa yang gelap dalam sejarah Indonesia.
Kudatuli adalah kerusuhan di Jakarta yang berawal dari pengambilalihan paksa kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro Nomor 58, Jakarta pusat.
Saat itu ada dualisme kepemimpinan di tubuh Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Kelompok pertama adalah PDI pimpinan Megawati Soekarnoputri hasil kongres Surabaya 1993. Kepemimpinan Megawati diguncang Kongres Medan 22 Junin 1996 yang memililih Soerjadi sebagai Ketua Umum.
Ratusan massa yang disebut sebagai massa pendukung Soerjadi, Ketua Umum PDI yang didukung Soeharto, menggeruduk markas PDI dan mengambil dengan kekerasan kantor yang tengah dipertahankan oleh ratusan massa PDI pimpinan Megawati.
Hasil penyidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebutkan, kerusuhan itu mengakibatkan lima orang tewas, 149 orang luka, dan 23 orang hilang. Kerugian materiil diperkirakan mencapai Rp 100 miliar.
Komnas HAM juga menilai terjadi enam wujud pelanggaran HAM oleh berbagai pihak. Pertama, pelanggaran asas kebebasan berkumpul dan berserikat, pelanggaran asas kebebasan dari rasa takut, pelanggaran asas kebebasan dari perlakuan keji dan tidak manusiawi, dan pelanggaran perlindungan terhadap jiwa manusia, juga pelanggaran asas perlindungan atas harta benda.
Selengkapnya soal peristiwa kudatuli baca: 27 Juli 1996, Dualisme Partai Politik yang Berujung Tragedi...
Selama 20 tahun tidak ada kejelasan soal penuntasan kasus ini meski Komnas HAM sudah menyelesaikan laporan penyidikannya.
Bagaimana bisa dijelaskan sebuah peristiwa yang berujung pada hilangnya nyawa warga negara dibiarkan beku bertahun-tahun oleh negara?
Politik. Kudatuli bukan semata-mata peristiwa kriminal, tapi bertalian erat dengan kepentingan politik yang tali temalinya tertaut dengan dinamika politik masa kini.
Ada kelenturan-kelenturan yang harus dimainkan demi kepentingan politik tertentu sehingga kudatuli terus terabaikan.
Maka, meskipun Jokowi kini sudah memenangi pertarungan politik nasional, tali temali kepentingannya yang demikian lentur tak akan memampukannya mengurai gelapnya peristiwa kudatuli.
Bahkan, Megawati yang notabene adalah korban dalam peristiwa kudatuli tak mampu menembus kelenturan politik yang demikian transaksional.
Peristiwa itu akan tetap teronggok di sudut arena pertarungan politik negeri ini. Diam dan gelap.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.