Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

27 Juli 1996, Dualisme Partai Politik yang Berujung Tragedi...

Kompas.com - 27/07/2016, 05:45 WIB
Bayu Galih

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Sejarah mencatat bahwa hari ini pada 20 tahun silam, 27 Juli 1996, menjadi salah satu lembaran hitam dalam perpolitikan di Indonesia.

Sebab, peristiwa yang dikenal dengan sebutan "Kudatuli" (Kerusuhan 27 Juli) itu menjadi pengingat bahwa dualisme partai politik yang terjadi di Indonesia bisa berujung menjadi tragedi yang menimbulkan korban jiwa.

Peristiwa Kudatuli berawal dari upaya pengambilalihan kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro Nomor 58, Jakarta. Saat itu, kantor DPP PDI yang dikendalikan oleh pendukung Megawati Soekarnoputri berusaha dikuasai oleh pendukung Soerjadi. 

Megawati merupakan ketua umum PDI berdasarkan hasil Kongres Surabaya pada 1993 untuk kepengurusan 1993-1998. Sedangkan Soerjadi terpilih berdasarkan hasil Kongres Medan pada 22 Juni 1996 untuk periode 1996-1998, sebulan sebelum Peristiwa 27 Juli terjadi.

Aksi 16 fungsionaris

Dilansir dari arsip Harian Kompas, dualisme di tubuh partai berlambang banteng itu bermula ketika 16 fungsionaris DPP PDI menyatakan akan melaksanakan kongres PDI, untuk memisahkan diri dari kepengurusan pimpinan Megawati.

Mereka kemudian menyatakan akan melaksanakan kongres di Medan, yang rencana pelaksanaannya dipimpin Fatimah Achmad.

Pada 19 Juni 2016, DPP PDI pun "membebastugaskan" alias memecat 16 fungsionaris yang dinilai secara sepihak mengadakan kongres yang melanggar Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PDI.

Pemecatan dilakukan berdasarkan Keputusan Ketua Umum DPP PDI bernomor 01-KU/KPTS/VI/1996 yang ditandatangani Megawati Soekarnoputri.

"Bahwa akibat perbuatan yang dilakukan oleh fungsionaris DPP PDI tersebut pada kenyataannya telah menimbulkan intrik, pengadudombaan, dan fitnah serta manipulasi dan penyalahgunaan wewenang yang bisa membahayakan partai," demikian pernyataan Megawati, dikutip dari Harian Kompas terbitan 20 Juni 1996.

Namun, kongres di Medan itu tetap berjalan. Indikasi mengenai "restu" Presiden Soeharto terhadap pelaksanaan kongres ini juga terlihat. Sebab, kongres yang berlangsung pada 20 Juni-22 Juni 1996 itu dibuka dan ditutup oleh Menteri Dalam Negeri Yogie S Memed.

Harian Kompas terbitan 22 Juni mencatat bahwa kongres terasa sepi dan terlihat tidak dinamis. Meski begitu, kongres itu menghasilkan keputusan yang menunjuk Wakil Ketua MPR/DPR Soerjadi sebagai ketua umum dan Buttu Reinhart Hutapea sebagai sekretaris jenderal.

Rebutan kantor DPP

Dukungan pemerintahan Soeharto terhadap Soerjadi semakin terlihat dengan pengakuan dan legalitas terhadap kepengurusan Soerjadi. Dukungan bahkan disampaikan oleh Kepala Staf Sosial Politik ABRI saat itu, Letjen Syarwan Hamid.

Menurut Syarwan, Pemerintah mengakui DPP PDI hasil Kongres Medan. Berdasarkan asas legalitas, Pemerintah juga tidak akan mengakui adanya tandingan atau DPP PDI pimpinan Megawati.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com