JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya berpendapat, tidak ada salahnya mempertimbangkan dan mencoba pelibatan TNI dalam aksi-aksi penanggulangan terorisme.
TNI kini diyakini sudah berubah. "TNI hari ini telah mengalami transformasi luar biasa. Tidak perlu trauma dengan masa lalu. Jadi perlu dipertimbangkan dan dicoba memberikan porsi tepat dan dituangkan dalam UU Terorisme," ujar Harits melalui pesan singkat pada Selasa (26/7/2016).
Pendapat ini bukan tanpa dasar. Pertama, kata Harits, TNI memiliki satuan antiteror di setiap matra. Bahkan, kefektivitasan satuan itu tidak diragukan lagi. Namun, TNI dihadapkan pada realitas dilematis.
(Baca: Ada Pasal Pelibatan TNI, Ketua Komisi III Sebut Revisi UU Antiterorisme Jangan Kebablasan)
Ibaratnya, TNI punya akal, mata, telinga, kaki dan tangan, tapi seperti 'diikat' atau 'dipenjara' oleh Undang-Undang di dalam konteks keamanan dan pertahanan negara. Kedua, Harits mencontohkan kasus pengejaran kelompok Santoso Abu Wardah di Poso, Sulawesi Tengah.
Menurut dia, nuansa ego sektoral sangat kental dalam Operasi Camar Maleo I, II dan Tinombala. "Harusnya publik bisa berpikir kenapa perburuan Santoso cs berlarut-larut? Penyelesaian Poso sangat terkesan adanya ego sektoral begitu kuat. Negara menyelesaikan Poso lebih condong seperti mengelola proyek keamanan dengan segala keuntungannya," ujar Harits.
Ketiga, menurut Harits penindakan hukum pelaku terorisme oleh Polri juga kerap terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Perkara tewasnya Siyono oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri di Klaten menjadi kunci kotak pandora atas persoalan itu.
Harits mengatakan, Polri pun harus jujur terhadap penanganan perkara orang-orang terduga terorisme selama 10 tahun terakhir terkait berapa orang yang tewas di luar proses hukum.
"Sudah lebih dari 130 orang. Berapa yang mengalami kekerasan fisik dan verbal ketika ditindak dan disidik? Hampir 90 persen. Belum lagi perlakuan tidak sehat terhadap keluarga orang yang ditindak. Diintimidasi, dan pembunuhan karakter kerap terjadi," ujar Harits.
Di kemudian hari, fenomena tersebut secara laten membuat banyak orang justru terjerumus dalam ideologi radikal bahkan akhirnya melahirkan dendam ideologi sehingga menyebabkan aksi terorisme malah semakin meningkat.
Harits mengatakan, jika TNI dilibatkan dalam penanggulangan terorisme, harus dibentuk dewan pengawas yang betul-betul independen dan berintegritas demi mengontrol mulai dari hulu hingga hilir sepenuhnya.
(Baca: Draf Revisi UU Antiterorisme Dinilai Menambah Kekuasaan Negara secara Berlebihan)
Dengan demikian bisa meminimalisasi kekawatiran adanya pelanggaran HAM dan sebagainya. "Jadi, soal terorisme tidak perlu menjadi domain dari Polri saja, keterlibatan TNI hanya perlu dibuatkan regulasi yang tepat dan availible agar tidak kontraptoduktif kedepannya," ujar Harits.
Pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme yang disebut diatur dalam RUU Antiterorisme jadi polemik. Banyak kalangan menolak TNI dilibatkan untuk memerangi terorisme di dalam negeri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.