Pada 20 Oktober 2015, anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Hanura, Dewie Yasin Limpo, ditangkap KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT).
Dewie terkait kasus suap perencanaan anggaran proyek pembangkit listrik mikrohidro di Kabupaten Deiyai, Papua. Modusnya memasukkan proyek itu ke dalam pembahasan APBN 2016.
Penangkapan politisi DPR yang membuat geger adalah penangkapan anggota DPR dari Fraksi PDI-P, Andriansyah, dalam OTT KPK di Sanur, Bali, 9 April lalu, sebab ia ditangkap saat PDI-P menggelar kongres di Sanur.
Artinya, Adriansyah secara langsung mempermalukan dan mencoreng wajah PDI-P. Adriansyah ditangkap terkait proses pemberian izin usaha tambang batubara di Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan.
Lagi-lagi, rentetan penangkapan itu tidak ada efeknya sama sekali. Praktik suap dan makelar proyek tetap saja berlangsung.
Keberadaan KPK pun tidak ditakuti. Bahkan, agenda reformasi yang khusus memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sepertinya sudah dilupakan.
Buktinya, lagi-lagi politisi PDI-P, Damayanti Wisnu Putranti, ditangkap dalam OTT KPK pada 13 Januari 2016.
Anggota Komisi V ini dicokok terima suap sebagai perantara yang melicinkan proyek di wilayah Indonesia timur. Maka, ketika I Putu Sudiartana diciduk KPK lagi, rasanya sudah sangat keterlaluan.
Seakan berlomba dengan eksekutif, di institusi yudikatif pun praktik korup tidak hilang-hilang. Berulang kali panitera, hakim, dan anggota staf MA ditangkap karena sogokan.
Kamis (30/6), KPK menangkap panitera pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena diduga menerima suap untuk mengurus perkara perdata.
Sebelumnya, panitera PN Jakpus, Edy Nasution, juga ditangkap KPK. Bahkan, mengarah ke Sekretaris MA Nurhadi. Nurhadi pun bolak-balik diperiksa KPK. Rumah dan kantornya juga digeledah.
Sayang, agenda pemberantasan korupsi di negeri ini tak mulus. Tampaknya ada invisible hand yang tak mau kasus-kasus seperti itu terbongkar.
Buktinya orang yang diduga mengetahui kasus itu, yakni Royani, sopir Nurhadi, sampai hari ini tak tentu rimbanya.
Aneh juga jejak Royani tidak ditemukan pada era terbuka dan sudah sedemikian transparan ini. Bisa jadi ada orang yang begitu powerful yang menyembunyikan Royani.
Banyaknya pihak yang tetap bermain kotor tidak hanya mengganggu proses reformasi, tetapi juga terus-menerus mengkhianati rakyat.
Begitu banyak orang yang berkorban dan mengharumkan nama bangsa, seperti Rodiaman, belum tentu menikmati hasil kemajuan negeri ini.
Justru orang-orang yang hidupnya bergantung kepada negara ini (pemerintah) yang tidak henti mengeruk kekayaan negeri. Mereka terlihat sebagai operator negeri ini, tetapi sesungguhnya seperti benalu pengisap bangsa ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.