Pada dekade 1960-an ketika Indonesia memainkan peran strategis di panggung dunia, Presiden Soekarno pernah bertanya tentang sistem pertahanan pada pemimpin Tiongkok Mao Tse Tung dan Presiden Vietnam Ho Chi Minh.
Menurut Mao, Tiongkok unggul dan mampu bertahan meskipun jatuh-bangun karena sistem pertahanan bersifat nasional. Tiongkok memahami segala kondisi, baik fisik maupun mental.
Jawaban Ho mirip Mao. Meskipun negara kecil, kata Ho, Vietnam bisa bertahan dari serangan imperialis karena sistem pertahanan yang mengandalkan pengetahuan dan pengalaman dari perjuangan bangsa Vietnam. Istilahnya the best school for defence is the school of life.
Indonesia juga bangsa tangguh. Karena itu, Bung Karno menekankan pertahanan nasional kita harus benar-benar memahami geopolitik, yakni bersandar pada karakteristik bangsa dan Tanah Air sendiri.
Rudolf Kjellen (1864-1922), pencipta konsep geopolitik, mengatakan, negara berakar kuat dalam sejarah dan realitasnya, tumbuh secara organis, seperti halnya manusia. Dan, kita punya Wawasan Nusantara.
Faktor bahari memang sangat strategis. Ketika era kejayaan bahari bangsa-bangsa Eropa pada abad XV, lautan menjadi kunci penaklukan dunia.
Sir Walter Raleigh (1551-1618) mengatakan, mereka yang menguasai lautan akan menguasai jalur perdagangan, lalu akan menguasai kekayaan dunia, dan akhirnya menguasai dunia itu sendiri. Doktrin ini pula yang dipegang Inggris dengan membangun armada lautnya.
Dalam bahasa Alfred Thayer Mahan (1860-1914), guru besar sejarah maritim dan strategi di Naval War College, Amerika Serikat, sejarah kekuasaan dunia ditandai kemampuan menguasai laut (control of the sea).
Kontrol terhadap lautan merupakan kunci untuk bisa menjadi adikuasa. Saat ini walaupun kekuatan udara (air power) makin canggih, kekuatan laut (sea power) tetap menjadi andalan utama.
Apalagi dua pertiga wilayah Indonesia berupa lautan. Sayangnya, inilah yang mesti disadari bahwa kita tidak cukup serius menjaga wilayah-wilayah yang menjadi batas kedaulatan negara.
Di daratan saja, kita acap abai sehingga banyak daerah tak terurus. Bagi warga di perbatasan, ”rumput tetangga lebih hijau ketimbang rumput di halaman sendiri”.
Perubahan paradigma yang memandang perbatasan bukan lagi sebagai halaman belakang, menjadi ujian untuk kelenturan ketahanan nasional (national resilience) kita.
Seperti kasus Natuna, jangankan sedepa, sejengkal pun kita tidak boleh mundur. Ini soal kedaulatan negara Bung!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.