Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dimas Oky Nugroho

Pengamat politik ARSC. Founder Kader Bangsa Fellowship Program (KBFP)

Suara Rakyat, Media Sosial dan "The New Politics"

Kompas.com - 21/06/2016, 19:11 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnu Nugroho

Seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi, media sosial (medsos) khususnya dalam dunia politik Indonesia telah menjadi mantra paling seksi yang paling sering dibicarakan selama kurun waktu 5-8 tahun terakhir ini.

Penggunaan media sosial diangap sebagai kehadiran sebuah era politik baru yang menghadirkan suara rakyat secara lebih luas.

Di Indonesia, media sosial mencapai puncak popularitasnya saat digunakan para pendukung dan relawan pada pemilihan gubernur di DKI Jakarta 2012 yang memenangkan Jokowi-Basuki.

Media sosial semakin menjadi-jadi pengaruhnya saat kampanye pileg dan pilpres 2014 lalu yang mengantarkan Jokowi menjadi Presiden ke-7 RI. Para aktivis medsos seolah menjadi sebuah kekuatan politik tersendiri yang menentukan dan bernilai tinggi.

Medsos menjadi senjata politik yang ampuh khususnya dibutuhkan saat memobilisasi dan mempengaruhi kebijakan publik tertentu.

Gagalnya Komjen Pol. Budi Gunawan menjadi Kapolri dan kemunculan ‘Teman Ahok’ menjadi contoh-contoh terkini dari tren mobilisasi media sosial dalam sebuah tujuan politik.

Fenomena media sosial di Indonesia memang cukup mengesankan. Menurut situs data wearesocial.com, dari sekitar 259 juta total jumlah populasi di republik ini terdapat 88 juta warga (34 persen) pengguna internet aktif. Dari 88 juta manusia tersebut, tercatat 79 jutanya adalah pengguna aktif media sosial.

Sejauh ini memang belum ada referensi akademik atau kajian yang lebih komprehensif terkait pengaruh media sosial terhadap, katakanlah, perilaku memilih individu dalam setiap pemilu.

Cuma yang jelas, akibat kekuatan media sosial, sejumlah gempa politik sudah terjadi dan mempengaruhi konfigurasi dan wajah politik sejumlah negara, termasuk Indonesia.

Negara dan Inovasi Demokrasi

Di era neoliberal ini, tantangan terhadap peran negara menjadi sangat besar. Secara spesifik tantangan bagi partai saat ini adalah kemampuan beradaptasi di satu sisi dengan situasi di mana negara bukan lagi satu-satunya aktor institusi yang dominan.

Negara memang masih dianggap menjadi penerima "mandat kedaulatan rakyat" untuk mengatur dan menjamin berbagai kepentingan publik. Namun saat ini aktor lain seperti masyarakat sipil dan, lebih "powerful" lagi, korporasi juga menjadi pemain utama dalam mempengaruhi proses formulasi kebijakan.

Dalam bukunya berjudul Democratic Governance (2010), Mark Bevir mengungkapkan adanya pergeseran pemahaman konsep dan peran negara model tradisional birokratik Keynesian menuju politik kontemporer yang disebutnya sebagai ‘the new governance’.

Konsep tata pemerintahan baru ini intinya lebih mengedepankan jejaring (network) dan kemitraan (partnership) antarseluruh komponen termasuk pasar dan masyarakat sipil dalam proses-proses pengelolaan pembangunan masyarakat.

Ada dua pemikiran yang mempengaruhi model negara baru ini. Pertama pemikiran ekonomi politik neoliberalisme dan teori "rational choice" yang ingin membuat kinerja dan peran negara menjadi efisien. Kedua, bangkitnya kembali kesadaran "third way" merujuk pada pemikiran sosial demokrat, "center left politics" dan pendekatan "new institutionalism" sebagai dampak dari menguatnya populisme dan suara-suara rakyat di berbagai arena deliberasi publik.

Meminjam pada pendekatan Bevir tadi, bagi organisasi publik semacam institusi pemerintah, ormas ataupun parpol, kunci keberhasilan mereka di era politik baru ini adalah kemampuan beradaptasi dengan tren keterbukaan dan partisipasi yang dibawa seiring perkembangan teknologi informasi dan media sosial ini.

KOMPAS IMAGES/KRISTIANTO PURNOMO-RODERICK ADRIAN MOZES Calon Presiden Joko Widodo memberikan orasi dalam acara Konser Salam 2 Jari Menuju Kemenangan Jokowi-JK, di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Sabtu (5/7/2014). Konser ini dihadiri oleh ribuan simpatisan Jokowi-JK.
Suara dari publik, antara lain melalui kehadiran media sosial, menjadi penting untuk menyeimbangkan relasi-relasi politik yang beku dalam sebuah organisasi yang bersifat elitis oligarkis. Tentunya termasuk menetralisasi pengaruh dan infiltrasi kepentingan korporasi dan modal pada tataran elite partai dalam proses-proses pengambilan kebijakan.

Dalam bukunya berjudul Democratic Innovations (2009), Graham Smith menyatakan pentingnya memastikan prinsip-prinsip demokrasi dan partisipasi warga dilaksanakan secara "murni" untuk memastikan warga (baca: rakyat) secara formal terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan-keputusan strategis.

Rakyat tak lagi dipandang sebagai pinggiran, lokal, periferi, penonton atau mungkin dengan stigma komunis bahkan fundamentalis. Smith menawarkan sebuah inovasi demokrasi yang ingin memastikan rakyat (bisa) terlibat secara lebih bermartabat.

Problemnya saat ini adalah sistem politik yang ada menjadikan demokrasi terlalu formal prosedural, struktural, rumit dan bahkan dikuasai atau dimanipulasi oleh elite-elite oligarki tadi.

Kerap rakyat hanya menjadi penonton dan resisten karena merasa tidak dilibatkan.

Ricardo Blaug (2002) membedakannya dengan critical democracy dengan incumbent democracy. Critical democracy adalah rakyat yang tereksklusi dari proses perumusan kebijakan dan mereka melakukan resistensi terhadap elite dominan.

Sebaliknya, incumbent democracy adalah elite dominan yang memiliki kapabilitas untuk melakukan agenda setting politik sesuai kepentingan mereka secara institusional.

Realitasnya, angka golput dan apatisme politik cenderung menjadi tinggi dalam setiap pemilu. Warga tidak percaya dengan para politisi yang mengaku sebagai wakil atau pemimpinnya, terhadap institusi politik seperti partai dan bahkan terhadap lembaga negara.

Padahal demokrasi dibutuhkan sebagai alat kontrol publik untuk mengawal formulasi dan pelaksanaan kebijakan, untuk mendorong partisipasi publik dalam politik, serta menjamin inklusifitas dan perlindungan terhadap hak-hak sipil warga negara tanpa terkecuali sekaligus melindungi kepentingan publik dari pembajakan kepentingan-kepentingan pemodal.

Konfigurasi Politik Baru

Satu hal yang tak bisa dihindari dalam era digital ini adalah aspek inklusivitas dan kemitraan, aspek jaringan antaraktor, aspek transparansi dan aspek interaksi/keterlibatan (engagement) dari warga pada berbagai isu publik.

Dalam konteks pengadaptasian era demokrasi digital ini, aktor dan institusi politik harus memahami sebuah proses sosiologis bernama "civic talk" atau ruang perbincangan publik yang sangat terbuka berdasarkan nilai-nilai dan moralitas publik.

Perbincangan publik ini kerap menghasilkan sebuah opini dominan yang secara langsung, dalam banyak kasus, mampu mempengaruhi berbagai keputusan-keputusan strategis terkait isu tertentu.

Terkadang sukses dalam mendikte perilaku atau kebijakan penguasa yang dianggap menyalahi rasionalitas dan idealisme publik. Namun tak jarang yang gagal dan membentur resistensi penguasa dan klas elite oligarki.

Jika kita cermati secara lebih jernih, dalam konteks politik Indonesia saat ini, Jokowi sebagai presiden kerap harus menghadapi posisi yang terjepit di tengah pertarungan oligarki ekonomi politik yang membuatnya harus bermanuver dengan licin dan cerdas.

Jokowi sejatinya adalah anak kandung dari era politik baru ini sendiri. Ia membawa perubahan sekaligus pelajaran berharga bagi institusi politik lama (agar berubah) sekaligus menyadarkan pentingnya partisipasi rakyat dalam isu-isu publik melalui instrumen politik baru ini.

Media sosial terkadang perannya tidak cukup independen karena disebabkan masih terdapatnya bias-bias kepentingan pemilik modal dan kelompok penguasa yang melatarbelakanginya.

Apalagi tak semua orang di negeri ini yang bisa mengakses dan mendistribusikan informasi secara jernih dalam berbagai kasus sensitif.

Dalam banyak kasus, khususnya pada isu-isu politik kekuasaan, arena perbincangan publik seringkali bukanlah sebuah arena normatif yang bebas kepentingan. Justru ia adalah arena kontestasi yang sesungguhnya, berupa sebuah arena pertempuran antar berbagai kepentingan ekonomi-politik, antar aktor atau kelompok kekuatan.

Di sinilah pentingnya menjaga kehadiran masyarakat sipil yang berpegang teguh pada advokasi isu-isu atau agenda-agenda kerakyatan dan idealisme moralitas publik.

Di tengah pertarungan politik (real politics) yang gaduh, tajam, kejam dan membosankan, maka rakyat sebaiknya tetap disajikan dengan nilai-nilai yang ideal sehingga kesalehan dan kepercayaan publik serta kebijaksanaan politik tetap terjaga.

Rakyat tetap percaya bahwa para pemimpinnya bersungguh-sungguh bekerja untuk mereka dan tidak berselingkuh untuk memenangkan kepentingan pribadi, golongan atau mungkin sponsor ketimbang kepentingan rakyat.

Era pemerintahan Presiden Jokowi ini adalah masa pergeseran era politik lama menuju era politik baru. Pertempuran menuju sebuah rekonfigurasi dan rekonsolidasi politik baru menjadi menarik karena tidak lagi menggunakan pemahaman dan format "politik lama".

Parpol bahkan terancam mengalami ‘deparpolisasi’ jika gagal berubah dan beradaptasi.

Nasihat saya, meskipun di era "new politics" ini individu rakyat cenderung dipentingkan ketimbang institusi, namun jangan hancurkan pilar dan institusi yang sudah membentuk, membangun dan menjaga negara-bangsa beserta spirit dan tradisi-tradisi otentik pluralisme ke-Indonesia-an sekian lama.

Jika mereka selama ini dinilai keropos dan berkinerja buruk maka tanggung jawab kita untuk memperbaiki.

Proporsionalitas politik tetap penting untuk menjaga sejarah dan nilai-nilai pembentukan negara-bangsa kita. Karena hanya dengan merawat sejarah kebangsaan kita, maka kita sebagai bangsa akan memiliki karakter juara dan tidak tersesat dalam pertarungan geopolitik global.

Selamat datang rejim politik baru Indonesia. Semoga bermanfaat untuk kesejahteraan rakyat serta kemajuan bangsa dan negara.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Hindari Konflik TNI-Polri, Sekjen Kemenhan Sarankan Kegiatan Integratif

Hindari Konflik TNI-Polri, Sekjen Kemenhan Sarankan Kegiatan Integratif

Nasional
KPK Tetapkan Gubernur Nonaktif Maluku Utara Tersangka TPPU

KPK Tetapkan Gubernur Nonaktif Maluku Utara Tersangka TPPU

Nasional
Soal Kemungkinan Duduki Jabatan di DPP PDI-P, Ganjar: Itu Urusan Ketua Umum

Soal Kemungkinan Duduki Jabatan di DPP PDI-P, Ganjar: Itu Urusan Ketua Umum

Nasional
Kapolda Jateng Disebut Maju Pilkada, Jokowi: Dikit-dikit Ditanyakan ke Saya ...

Kapolda Jateng Disebut Maju Pilkada, Jokowi: Dikit-dikit Ditanyakan ke Saya ...

Nasional
Jokowi dan Prabowo Rapat Bareng Bahas Operasi Khusus di Papua

Jokowi dan Prabowo Rapat Bareng Bahas Operasi Khusus di Papua

Nasional
Kemenhan Ungkap Anggaran Tambahan Penanganan Papua Belum Turun

Kemenhan Ungkap Anggaran Tambahan Penanganan Papua Belum Turun

Nasional
PAN Minta Demokrat Bangun Komunikasi jika Ingin Duetkan Lagi Khofifah dan Emil Dardak

PAN Minta Demokrat Bangun Komunikasi jika Ingin Duetkan Lagi Khofifah dan Emil Dardak

Nasional
Tanggapi Ide 'Presidential Club' Prabowo, Ganjar: Bagus-bagus Saja

Tanggapi Ide "Presidential Club" Prabowo, Ganjar: Bagus-bagus Saja

Nasional
6 Pengedar Narkoba Bermodus Paket Suku Cadang Dibekuk, 20.272 Ekstasi Disita

6 Pengedar Narkoba Bermodus Paket Suku Cadang Dibekuk, 20.272 Ekstasi Disita

Nasional
Budiman Sudjatmiko: Bisa Saja Kementerian di Era Prabowo Tetap 34, tetapi Ditambah Badan

Budiman Sudjatmiko: Bisa Saja Kementerian di Era Prabowo Tetap 34, tetapi Ditambah Badan

Nasional
PAN Ungkap Alasan Belum Rekomendasikan Duet Khofifah dan Emil Dardak pada Pilkada Jatim

PAN Ungkap Alasan Belum Rekomendasikan Duet Khofifah dan Emil Dardak pada Pilkada Jatim

Nasional
Prabowo Hendak Tambah Kementerian, Ganjar: Kalau Buat Aturan Sendiri Itu Langgar UU

Prabowo Hendak Tambah Kementerian, Ganjar: Kalau Buat Aturan Sendiri Itu Langgar UU

Nasional
Tingkatkan Pengamanan Objek Vital Nasional, Pertamina Sepakati Kerja Sama dengan Polri

Tingkatkan Pengamanan Objek Vital Nasional, Pertamina Sepakati Kerja Sama dengan Polri

Nasional
Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Tak Jadi Ajang 'Sapi Perah'

Usul Prabowo Tambah Kementerian Diharap Tak Jadi Ajang "Sapi Perah"

Nasional
Ganjar Deklarasi Jadi Oposisi, Budiman Sudjatmiko: Kalau Individu Bukan Oposisi, tapi Kritikus

Ganjar Deklarasi Jadi Oposisi, Budiman Sudjatmiko: Kalau Individu Bukan Oposisi, tapi Kritikus

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com