JAKARTA, KOMPAS.com - Catatan Setara Institute menunjukkan, pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan menunjukkan angka yang tinggi di 23 provinsi.
Periode Januari hingga November 2013 terjadi 213 peristiwa dengan 243 tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Dengan fenomena ini, sikap toleransi menjadi penting.
Ketua Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak menilai, persoalan intoleransi muncul karena rendahnya literasi sejarah anak-anak muda saat ini.
Minimnya pengetahuan sejarah dianggap melemahkan pemaknaan toleransi melalui konteks keindonesiaan.
Menurut Dahnil, pada dasarnya masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang toleran dan menghargai keberagaman.
Hal ini bisa terlihat dari cara nenek moyang menerima agama dan kebudayaan yang masuk dari luar, seperti Hindu, Buddha, Kristen dan Islam.
"Pada dasarnya, secara genetika Indonesia itu sangat toleran. Contohnya, ketika dulu agama Hindu masuk ke Indonesia, kemudian masuk agama Buddha dan Kristen, lalu Islam. Itu sebenarnya menunjukkan secara budaya, orang Indonesia relatif terbuka," ujar Dahnil saat ditemui di sela Konferensi Antikorupsi, di Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Minggu (19/6/2016).
Dahnil mengatakan, jika mengacu pada fakta sejarah, seharusnya generasi muda saat ini dapat memahami bahwa Indonesia dibangun atas kesadaran akan keberagaman.
Kesadaran itu, kata Dahnil, secara jelas terwujud dalam beberapa peristiwa bersejarah yang menjadi landasan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ia menyebutkan, beberapa peristiwa seperti Sumpah Pemuda dan Kebangkitan Nasional oleh Boedi Oetomo merupakan simbol pengakuan atas keberagaman.
"Negeri ini dibangun atas kesadaran kolektif bahwa kita beragam. Peristiwa seperti Sumpah Pemuda dan Kebangkitan Nasional oleh Boedi Oetomo merupakan simbolisasi pengakuan terhadap keberagaman. Jika ada pihak yang bertindak mengancam keberagaman itu sama dengan merusak Indonesia," ungkapnya.
Selain itu, menurut Dahnil, ada satu peristiwa yang sering dilupakan oleh banyak orang, yakni proses perumusan dasar negara Indonesia dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Saat itu, sejumlah pemimpin politik berlatar belakang nasionalis Islam seperti Ki Bagus Hadikusumo, KH Wahid Hasyim, H. Agoes Salim dan Abdul Kahar Muzakkir sepakat untuk menghilangkan tujuh kata dari sila pertama Piagam Jakarta untuk mengakomodasi aspirasi kelompok agama lain.
Mereka sepakat agar Indonesia tidak pecah, maka sila pertama dalam rumusan Piagam Jakarta yang berbunyi "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluk-pemeluknya" diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.