Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Heru Margianto
Managing Editor Kompas.com

Wartawan Kompas.com. Meminati isu-isu politik dan keberagaman. Penikmat bintang-bintang di langit malam. 

PKI, Ancaman terhadap Pancasila atau Hanya "Amarah" Para Jenderal Punawirawan?

Kompas.com - 02/06/2016, 12:19 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

1 Juni 2016, Presiden Jokowi menorehkan sejarah baru. Pemerintah menetapkan secara resmi 1 Juni sebagai hari kelahiran Pancasila merujuk pada pidato Bung Karno di sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUKI) pada tanggal yang sama tahun 1945. Dalam sidang itu kata “Pancasila” disebut pertama kali.

Pengumuman 1 Juni sebagai hari kelahiran Pancasila dan ditetapkan sebagai hari libur nasional disampaikan Jokowi dalam peringatan pidato Bung Karno 1 Juni 1945 di Bandung, Jawa Barat, Rabu (1/6/2016). Dengan penetapan ini, selesailah perdebatan soal tanggal kelahiran itu jatuh pada 1 Juni, 22 Juni, atau 18 Agustus.

Sementara di Jakarta, pada hari yang sama, sekelompok purnawirawan TNI bersama sejumlah ormas menggelar simposium dengan tajuk, “Mengamankan pancasila dari ancaman kebangkitan Partai Komunis Indonesia dan ideologi lain.”. Simposium akan berlangsung hingga 2 Juni.

Front Pembela Islam (FPI), salah satu ormas pendukung simposium, memberikan menyatakan akan mengepung Istana Negara pada Jumat (3/6/2016). FPI ingin mendesak Jokowi agar tak meminta maaf terkait peristiwa 1965 dan meminta pemerintah untuk mengamankan Pancasila serta menolak kebangkitan PKI.

Ketua Simposium Pancasila, kita sebut saja demikian, Letjen (Purn) Kiki Syahnakri menyatakan, simposium yang digelar di Balai Kartini tersebut merupakan reaksi atas Simposium Tragedi 1965 yang digelar sebelumnya yang diprakarsai antara lain oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Jenderal (Purn) Luhut Panjaitan dan Gubernur Lemhanas Letjen (Purn) Agus Widjojo.

Mereka yang berada di balik Simposium Pancasila menuding, Simposium Tragedi 1965 adalah tanda-tanda bangkitnya PKI.

Kiki mengatakan, hampir 100 persen purnawirawan TNI sepakat untuk menolak rekomendasi Simposium Tragedi 1965 di Hotel Aryaduta. Menurut dia, simposium di Aryaduta yang menghadirkan sejumlah korban 65 dan kalangan lembaga swadaya masyarakat hanya ingin memutarbalikan sejarah tentang sepak terjang PKI di Indonesia. Simposium Pancasila juga mendapat dukungan dari Menteri Pertahanan Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu.

"Purnawirawan kan juga manusia, wajar dong kalau ada yang punya pendapat berbeda," ujar Kiki saat diwawancarai di Balai Kartini, Jakarta Selatan, Rabu (1/6/2016).

Di hari kelahiran Pancasila yang ditetapkan secara resmi oleh pemerintah, dua kelompok pensiunan jenderal tentara terang benderang, centang perentang, “berseteru” di ruang publik kita. Pokok “pertikaiannya” adalah soal PKI.

PKI ancaman?

Pertanyaannya kemudian, apakah betul PKI adalah ancaman paling nyata saat ini atas Pancasila? Atau, persoalan PKI yang menyeruak dan mencederai akal sehat kita ternyata adalah semata-mata persoalan "amarah" para mantan tentara itu?

Tentang pertanyaan pertama. Survei yang dilakukan Litbang Harian Kompas yang dipublikasikan pada 31 Mei 2016 mendapatkan, penerimaan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara mencapai tingkat yang sangat mapan. Kini, praktis tak lagi ada gugatan publik atas isi lima sila Pancasila.

Hampir semua responden (95,1 persen) menyatakan, Pancasila adalah dasar negara terbaik bagi Indonesia. Bahkan, hampir 100 persen responden menyatakan, keberadaan Pancasila sebagai dasar negara yang harus dipertahankan. Tak hanya itu, pengamalan Pancasila juga dipandang sebagai ”obat penawar” atas berbagai persoalan bangsa.

Rivan Awal Lingga Massa dari Front Pancasila melakukan aksi di depan Tugu Tani, Jakarta, Senin (18/4). Mereka menentang pelaksanaan kegiatan Simposium Nasional dengan tema "Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan" karena acara tersebut dianggap rangkaian acara PKI.
Dalam kondisi yang demikian mapan seperti survei di atas, sangatlah tidak relevan menempatkan PKI sebagai ancaman yang sedemikian daruratnya sehingga perlu diteriakkan bahkan disertai tudingan-tudingan yang irasional.

Sejarah panjang Orde Baru mengajarkan pada bangsa ini bahwa penolakan atas Pancasila bukan karena masyarakat Indonesia banyak yang menganut paham komunis, tapi karena Pancasila dijadikan alat represi yang sistematis, terstruktur, dan masif.

Saat menyampaikan pidato pada peringatan Pidato Bung Karno 1 Juni di Gedung DPR/MPR, Rabu, 1 Juni 2011, mantan Presiden ke-3 RI BJ Habibie menyatakan, Orde Baru menjadikan Pancasila sebagai alat untuk menekan kelompok-kelompok yang dianggap tidak sepaham dengan pemerintah. Soeharto mendekati pancasila sebagai ornamen mistik ketimbang rasional.

Atas nama Pancasila, Soeharto memberi label “PKI” kepada siapa saja yang dianggap berseberangan dengan pemerintahannya. Label itu adalah obat mujarab bagi justifikasi penangkapan orang.

Atas nama Pancasila juga, diskusi-diskusi yang tidak disukai pemerintah dilabeli “PKI” dan dibubarkan. Pula, atas nama Pancasila, buku-buku yang dicap kiri yang notabene merupakan hasil studi akademis guna memahami sejarah peradaban umat manusia diberangus.

Di era itu, Pancasila kehilangan rasionalitasnya untuk dipahami dan dihayati. Ia seperti arca mistik yang dijadikan alat pembenar atas kepentingan kekuasaan.

Para jenderal purnawirawan

Hari-hari belakangan ini, kita merasakan nuansa orde baru itu seperti hadir kembali di tengah kehidupan kita. Pancasila seperti kehilangan rasionalitas pemahamannya ketika ia disandingkan dengan derasnya teriakan soal kebangkitan Partai Komunis Indonesia.

Yang berbahaya malah bukan PKI-nya, tapi dampak atas phobia yang ditimbulkannya. Baca: Gambar Palu Arit, Kuntilanak yang Mencederai Akal Sehat Kita.

Hantu komunis itu, demikian didengungkan, menyusup diam-diam dalam kehidupan masyarakat. Dalam sebuah pemberitaan media online, Mayjen (Purn) Kivlan Zen (lagi-lagi tentara), yang juga berdiri di barisan pendukung Simposiun Pancasila, bahkan mengarahkan telunjuknya pada Majalah Tempo dan Metro TV sebagai corong komunis.

Disebut juga, Universitas Islam Negeri sebagai sarangnya orang-orang komunis. Ia juga menuding politisi PDI-P Budiman Sudjatmiko sebagai antek PKI. Dalam sejumlah kesempatan, Kivlan bersuara paling kencang soal ancaman PKI ini.

Betul, ideologi komunis memang tidak layak lagi dijadikan pegangan. Sejarah menunjukkan catatan kelam atas ideologi ini. Namun, permasalahannya adalah, menyatakan bahwa PKI berbahaya dan mengindentifikasi siapa dan apa PKI saat ini adalah dua hal yang berbeda.

Majalah Tempo dan Metro TV sebagai corong komunis? UIN sarang komunis? Film Pulau Buru Tanah Air Beta adalah PKI? Film senyap adalah propaganda PKI? Mereka yang membaca buku-buku Marx dan komunisme otomatis menjadi seorang komunis? Anak-anak keluarga PKI otomatis adalah komunis?

Tidakkah Anda melihat betapa berbahayanya tudingan itu?

Kompas.com/SABRINA ASRIL Mantan Kepala Staf Kostrad, Mayor Jenderal (Purn) Kivlan Zen.
Aura yang lebih mengerikan juga coba dibangun. Menurut Kivlan, PKI telah membentuk struktur partai mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Partai terlarang ini Ia juga disebut telah menyiapkan hingga 15 juta pendukung.

"Susunan partai sudah ada, pimpinan Wahyu Setiaji. Dari tingkat pusat sampai daerah," ujar Kivlan saat ditemui di sela acara Simposium Pancasila di Balai Kartini, Jakarta, Rabu (1/6/2016). Baca: Kivlan Sen Sebut PKI Bangkit dan Dipimpin Wahyu Setiaji.

Menanggapi pernyataan Kivlan, Luhut menantangnya untuk membuktikan kebenaran informasi tersebut. Secara terpisah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly menganggap Kivlan hanya mengarang cerita. Baca: Sebut PKI Bangkit, Kivlan Dianggap "Ngarang" Cerita.

Sementara, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan tak mau ikut serta dalam genderang yang dimainkan Kivlan. Baca: Mendagri: Saya Tidak Mau Ikut Genderang Kivlan Zen. 

Jadi, kembali pada pertanyaan di atas, soal PKI ini, betulkah ia bangkit dan menjadi ancaman terhadap Pancasila atau itu sekadar "permainan" demi kepentingan kelompok tertentu?

Kalau "amarah" para jenderal pensiunan yang tidak setuju dengan Simposium Tragedi 65 itu dilampiaskan di lapangan bola silakan saja, tapi kalau "amarah"nya berdampak pada hilangnya hak kita sebagai warga negara atas ruang publik yang terbuka dan demokratis dan atas hak untuk mendapatkan informasi demi menjaga kewarasan berpikir sebagai bangsa, ini persoalan serius dalam praktik bernegara.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pansel Diminta Coret Capim KPK yang Buruk, Jangan Sampai Lolos ke DPR

Pansel Diminta Coret Capim KPK yang Buruk, Jangan Sampai Lolos ke DPR

Nasional
Bertolak ke Riau, Presiden Jokowi Bakal Resmikan Tol dan Sistem Pengelolaan Air

Bertolak ke Riau, Presiden Jokowi Bakal Resmikan Tol dan Sistem Pengelolaan Air

Nasional
Soal Putusan MA, Pakar: Pertimbangan Hukum Hakim Sangat Dangkal

Soal Putusan MA, Pakar: Pertimbangan Hukum Hakim Sangat Dangkal

Nasional
Survei Kepuasan Pelanggan Antam Naik pada 2023

Survei Kepuasan Pelanggan Antam Naik pada 2023

Nasional
4 Terdakwa Kasus Gereja Kingmi Mile Jalani Sidang Vonis Hari Ini

4 Terdakwa Kasus Gereja Kingmi Mile Jalani Sidang Vonis Hari Ini

Nasional
Secepat Kilat MA Ubah Aturan Batas Usia Kepala Daerah yang Buka Jalan Kaesang Jadi Cagub

Secepat Kilat MA Ubah Aturan Batas Usia Kepala Daerah yang Buka Jalan Kaesang Jadi Cagub

Nasional
Pakar Bicara Kesamaan Pola Putusan MA dan MK, Terganjal Syarat Pencalonan

Pakar Bicara Kesamaan Pola Putusan MA dan MK, Terganjal Syarat Pencalonan

Nasional
Momen Jokowi 'Nge-mal' di Sumsel, Ajak Bocah Makan 'Snack' di Mejanya

Momen Jokowi "Nge-mal" di Sumsel, Ajak Bocah Makan "Snack" di Mejanya

Nasional
Pansel Capim KPK: Komposisi Dianggap Bermasalah, Diingatkan Jangan Loloskan Calon Titipan

Pansel Capim KPK: Komposisi Dianggap Bermasalah, Diingatkan Jangan Loloskan Calon Titipan

Nasional
Perkuatan Komando dan Interoperabilitas di Kawasan Laut China Selatan

Perkuatan Komando dan Interoperabilitas di Kawasan Laut China Selatan

Nasional
Penguntitan Jampidsus Dianggap Selesai, Anggota Densus Tidak Disanksi

Penguntitan Jampidsus Dianggap Selesai, Anggota Densus Tidak Disanksi

Nasional
Pansel Capim KPK 2024-2029 Didominasi Unsur Pemerintah

Pansel Capim KPK 2024-2029 Didominasi Unsur Pemerintah

Nasional
Putusan MA Miliki Modus Sama dengan Putusan MK, Kali Ini Karpet Merah untuk Kaesang?

Putusan MA Miliki Modus Sama dengan Putusan MK, Kali Ini Karpet Merah untuk Kaesang?

Nasional
Perludem: Putusan MA Keliru, Mencampur Aduk Syarat Calon dan Calon Terpilih

Perludem: Putusan MA Keliru, Mencampur Aduk Syarat Calon dan Calon Terpilih

Nasional
Pemerintah Arab Saudi Perketat Jalur Masuk Mekkah, Antisipasi Jemaah Haji Ilegal

Pemerintah Arab Saudi Perketat Jalur Masuk Mekkah, Antisipasi Jemaah Haji Ilegal

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com