JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Bidang Pemenuhan Hak Anak Komnas Anak, Reza Indragiri Amriel, menilai pemasangan cip (alat bantu monitor) pada tubuh predator seksual dinilai tidak efektif dan perlu dikaji ulang.
Dia mengatakan, ada beberapa permasalahan yang tak terjawab oleh pemasangan cip tersebut pada tubuh pelaku kekerasan seksual.
"Bagaimana jika korban tidak melapor, walau kejahatan seksual bukan delik aduan, tapi tidak mungkin cip mengirim sinyal bahaya secara otomatis," tulis Reza dalam keterangan tertulis, Selasa (31/5/2016).
Dia pun mempertanyakan sejauh mana radar bisa menangkap sinyal cip sehingga memastikan pelaku tidak keluar dari radius yang ditentukan.
Lebih lanjut, Reza menyatakan bahwa cip dipasang selama dua tahun pasca-selesainya hukuman pokok.
Berdasarkan penelitian, tingkat residivisime predator seksual justru meninggi seiring pertambahan usianya.
"Itu tidak akan terpantau dalam dua tahun masa pemantauan. Selama dua tahun, predator terpantau baik. Tapi setelah dua tahun, dia menjadi buas namun tak lagi terpantau," lanjut Reza.
Karena itu Reza menambahkan, yang terpenting dalam penanganan kasus kekerasan seksual adalah mengubah pola pikir sang pelaku.
"Seringkali kekerasan seksual tidak diawali motif seksual semata, tetapi juga dendam karena dulunya pelaku pernah menjadi korban, aspek psikologis itu lebih penting untuk diselesaikan sebenarnya," lanjut Reza.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Perppu ini memperberat sanksi bagi pelaku kejahatan seksual, yakni hukuman mati, penjara seumur hidup, maksimal 20 tahun penjara dan minimal 10 tahun penjara.
Perppu juga mengatur tiga sanksi tambahan, yakni kebiri kimiawi, pengumuman identitas ke publik, serta pemasangan alat deteksi elektronik.