Istilah Turn Back Crime semakin populer selama beberapa bulan terakhir. Sejak diperkenalkan pada akhir 2015 lalu di Jakarta, beberapa kepolisian di daerah menggunakan brand dan kaus Turn Back Crime.
Turn Back Crime merupakan bagian dari kampanye Interpol untuk menggugah masyarakat agar tidak takut melawan aksi kejahatan terorganisir. Indonesia jadi salah satu negara yang ikut kampanye tersebut.
Sejatinya kampanye Turn Back Crime bertujuan mengajak masyarakat ikut membantu polisi memerangi kejahatan. Sesuai namanya, Turn Back Crime diartikan sebagai lawan balik tindak kejahatan.
Di Indonesia, kampanye Turn Back Crime tak bisa dilepaskan dengan popularitas kaus Turn Back Crime.
Kaus itu berjenis polo shirt dengan dominasi warna biru tua, ada logo Turn Back Crime di dada sebelah kanan, bagian lengan kanan ada emblem merah putih, kemudian ada tulisan "Polisi" di bagian belakang baju tersebut. Biasanya baju itu dipadupadankan dengan celana kargo berwarna khaki, bersama sepatu boot rendah berwarna senada.
Terus terang, polisi yang menggunakan "seragam" itu memang terlihat lebih menarik, lebih fashionable, tidak terlihat angker.
Maka tak heran kaus tersebut dinilai sebagai cara dari polisi agar terlihat menarik. Hal ini lantaran selama ini seragam polisi dinilai membosankan atau justru kurang menarik.
Direktur Reserse Kriminal Umum Kombes Krishna Murti pun pernah menyuarakan hal tersebut di media ini. Ia bahkan menyebut polisi dengan kaus Turn Back Crime tampak lebih keren.
"Karena polisi satu-satunya institusi yang setiap hari masuk media televisi. Kalau pengungkapan bagus, penampilan tidak bagus, akan percuma. Jadi, keduanya harus bagus," kata Krishna seperti dikutip dari laman ini beberapa waktu lalu.
Krishna merupakan pelopor penggunaan kaus Turn Back Crime. Dalam laman medsos pribadinya, facebook dan instagram, Krishna sering mengunggah aktivitasnya berpakaian dengan atribut Turn Back Crime.
Anak buah Krishna di Ditreskrimum Polda Metro Jaya pun kompak menggunakan atribut Turn Back Crime, mulai dari kaus, jaket, topi dst. Beberapa foto dan video di akun medsos Krishna Murti jelas memperlihatkan kekompakan mereka menggunakan atribut Turn Back Crime.
Tak hanya itu, di gedung Ditreskrimum Polda Metro Jaya bahkan diperjualbelikan atribut tersebut. Tak ayal, masyarakat pun dapat memiliki atribut yang sama dengan punya reserse saat bertugas.
Sejak aksi para reserse Ditreskrimum menggunakan atribut Turn Back Crime menangani tragedi bom Thamrin awal tahun ini, banyak yang penasaran terhadap kaus tersebut. Terlebih, medsos dibanjiri dengan postingan "polisi ganteng".
Hal ini disambut oleh para pengrajin dengan memproduksi dan menjualnya dengan harga sekitar Rp 150.000. Kaus itu kemudian populer dan dipakai bebas oleh masyarakat.
Sempat terjadi kebingungan terhadap keberadaan kaus itu, apakah itu baju yang hanya diperuntukkan bagi anggota polisi atau bisa dipakai masyarakat sipil. Sempat pula beredar pesan berantai polisi akan menindak masyarakat sipil yang menggunakan kaus itu, namun belakangan diketahui pesan itu hoax.
Kapolri Jendral Badrodin Haiti membantah kaus itu adalah seragam kepolisian. Di sisi lain, ia tidak menampik kaus itu digunakan ketika reserse menjalankan tugas bersama dengan rekan-rekannya.
Aturan seragam polisi
Reserse pun tidak seluruhnya menggunakan kaus itu, ada beberapa yang mempertahankan menggunakan "pakaian preman", kemeja putih, atau pakaian lain. Reserse memang tidak memiliki aturan baku soal pakaian.
Terkait seragam, di dalam Pasal 1 angka 10 Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2010 tentang Hak-Hak Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dikatakan bahwa seragam dinas polisi adalah:
"Perlengkapan Perorangan Polri yang selanjutnya disebut dengan Kapor Polri adalah pakaian seragam dinas dan atribut serta kelengkapannya yang melekat pada perorangan anggota Polri selama dalam dinas aktif."
Reserse sejatinya merupakan polisi yang menyamar, ia tidak akan mengungkap jati dirinya hanya dengan pakaian yang digunakannya ketika bertugas. Karena itu ia tidak perlu seragam, reserse pun sering dianggap menggunakan "pakaian preman" ketika menjalankan tugasnya.
Menjadi aneh ketika reserse menggunakan "seragam" yang mudah dikenali saat mereka bertugas.
Disalahgunakan
Di sisi lain, karena kaus Turn Back Crime sering dipakai anggota polisi, banyak pihak yang memanfaatkannya untuk melakukan kejahatan. Beberapa kali masyarakat mengadukan adanya penyalahgunaan kaus tersebut.
Dengan bermodal baju Turn Back Crime, seorang polisi gadungan bisa menipu bahkan meniduri puluhan PSK secara gratis. Ini jelas membahayakan.
Jikapun ada penggunaan seragam kepolisian yang disalahgunakan oleh masyarakat sipil, mereka hanya terkena Pasal 378 KUHP tentang penipuan. Tidak ada aturan khusus terkait penyalahgunaan seragam oleh masyarakat.
Apa ini yang namanya melibatkan masyarakat dalam kampanye Turn Back Crime?
Dengan mengenalkan kaus dan brand Turn Back Crime ke masyarakat, bahkan membiarkan dan menjualnya secara bebas apakah berdampak dengan banyaknya masyarakat yang terlibat atau berani melawan kejahatan terorganisir seperti yang disebut menjadi bagian kampanye ini?
Sejauh ini belum terlihat ada korelasi antara kampanye Turn Back Crime dengan keterlibatan masyarakat dalam melawan kejahatan. Di sisi lain, kaus itu justru disalahgunakan untuk melakukan kejahatan.
Tanya saja ke masyarakat memakainya atau ke "polisi ganteng" yang sebelumnya ramai di medsos. Yang pasti, masyarakat beberapa kali justru berebut berfoto selfie dengan "polisi ganteng" yang menggunakan kaus itu.
Butuh lebih dari sekedar kaus atau brand untuk mengajak masyarakat berani melawan balik tindak kejahatan. Yang jelas, saya lebih mendambakan kinerja polisi yang profesional melayani dan mengayomi masyarakat.
Bicara fashion, istilah ini juga sering dikaitkan dengan tren, mudah-mudahan Turn Back Crime ini bukan sebatas fashion.