Merendamkan diri
Berbeda dengan jurnalisme biasa yang bergerak dari satu kejadian ke kejadian berikutnya, jurnalisme perlahan mencoba mengakhiri sebuah peristiwa dengan akhiran yang tepat, yang membuat pembaca memahami seluruh duduk soal sehingga mereka menjadi cerdas-informasi.
Paul Salopek (54), wartawan Amerika asal Kroasia yang bekerja untuk National Geographic, mengatakan, untuk mewujudkan jurnalisme perlahan kita harus berani merendamkan diri ke dasar peristiwa: immersive reporting, yaitu meliput dengan "mencelupkan dan membenamkan diri" dalam seluruh peristiwa.
Peraih dua kali Hadiah Pulitzer itu (1998 dan 2001) membuktikan melalui liputan migrasi awal manusia ke luar Benua Afrika, "Out of Eden Walk".
Sejak Januari 2013, Salopek memulai liputan tersebut dengan berjalan kaki menempuh jarak 32.200 kilometer dari Etiopia, melewati Timur Tengah, Asia, Alaska, wilayah barat Amerika, hingga ujung selatan Cile. Diperkirakan liputan jalan kaki itu baru berakhir 2020.
Jurnalisme perlahan memang merupakan salah satu pendekatan dalam praktik jurnalistik. Ia tidak banyak berbeda dengan jurnalisme tradisional.
Peran-peran jurnalistik seperti menjadi pelapor, penganalis dan penafsir isu yang rumit, wakil dari publik untuk meneropong kekuasaan, penjaga (watchdog) pembuat kebijakan dan advokasi, serta penggerak keterlibatan masyarakat dengan lingkungan, tetap dilakukan (Bryce T McIntyre, 1991; David H Weaver et al, 2007).
Yang mungkin berbeda hanya caranya dalam mengoreksi tendensi jurnalisme umum yang amat menekankan kecepatan.
Sejak lama, kecepatan merupakan komponen utama kerja jurnalistik. Ia seakan menjadi budaya dan jadi salah satu nilai sentral dalam jurnalisme, di samping empat nilai lain, yakni obyektif, independen, mengabdi masyarakat, dan beretika (M Deuze, 2005).
Banyak wartawan beranggapan, kemampuan yang terkait kecepatan adalah nilai tertinggi dalam kerja jurnalistik.
Tugas mendalami peristiwa atau memberi kerangka serta penafsiran agar peristiwa bisa dipahami, dianggap sebagai tugas tambahan belaka; kalau ada waktu baru dilakukan! (D Weaver dan L Willnat, 2012).
Penetrasi teknologi informasi digital telah mengubah siklus proses produksi berita menjadi "24/7" dengan tenggat berkelanjutan.
Ada dua risiko muncul dari pengutamaan yang berlebihan terhadap kecepatan. Pertama, standar dan kualitas kerja jurnalistik turun, khususnya kehati-hatian dan kecermatan. Setiap kesalahan di ruang redaksi bermula dari ambisi berlebih untuk menjadi yang pertama.
"Bila itu sering terjadi, sesungguhnya aset paling berharga dari jurnalisme dan wartawan, yaitu kepercayaan atau kredibilitas, sudah hilang," tulis Peter Laufer dalam Slow News: A Manifesto for the Critical News Consumer (2011).
Yang kedua, pengutamaan kecepatan memunculkan kecenderungan untuk menyederhanakan dan menglisekan (stereotyping) masalah.