Singkat cerita, saat kedatangannya ke Bali pada akhir 1930-an, perempuan itu diangkat anak oleh Raja Bangli. Muriel pun menyandang nama K’tut Tantri, nama resminya hingga akhir hayat.
Selain nama pedengan Miss Daventry, sederet nama pernah menjadi julukannya. Molly McTavish, Modjokerto Molly, Merdeka Moll, Tanchery, Oestermann, Solo Sally, Djokja Josy, Vannine, Vannen, Vanessa, Manx, atau Manxy.
Sebagian nama itu memang dipilih atas keinginannya sendiri. Bahkan, orang Bali semasa, kerap mengenangnya dengan sebutan "Nyonya Meng".
Menurutnya, nama "Miss Daventry" awalnya muncul dalam pemberitaan pers luar negeri lantaran jurnalis yang salah mendengar dan mengeja nama "K'tut Tantri".
Pejuang kemerdekaan
Miss Daventry atau K'tut Tantri turut menyuarakan perjuangan Republik Indonesia lewat Radio Pemberontakan, sebuah radio propaganda perjuangan yang diawaki oleh Bung Tomo.
Ketika Inggris menguasai kota, dia turut menyingkir dan bergerilya bersama pejuang Republik hingga ke kawasan pegunungan sekitar Mojokerto.
"Ketemu K’tut Tantri di Surabaya waktu itu di Embong Mawar. Awalnya saya tidak tahu siapa itu yang siaran bahasa Inggris," ujar Sulistina Sutomo di kediamannya, Cibubur.
Janda mendiang Bung Tomo itu kini usianya 90 tahun, mungkin saksi terakhir soal kemunculan Miss Daventry di Surabaya pada akhir 1945. "Dia dijuluki Tokyo Rose dari Indonesia—Sourabaya Sue."
Pun, Bung Tomo mengenang Miss Daventry dalam pengantar buku karya perempuan itu yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Revolusi di Nusa Damai, yang terbit pada 1964.
"Saya tidak akan melupakan detik-detik di kala Tantri dengan tenang mengucapkan pidatonya di muka mikropon, sedangkan bom-bom dan peluru-peluru mortir berjatuhan dengan dahsyatnya di keliling pemancar radio pemberontakan," tulis Bung Tomo.
"Dan kemudian dengan tersenyum menyambut uluran tangan saya sebagai tanda terima kasih kita semua."
Pada November 1998, pemerintah Republik Indonesia mengganjar Bintang Mahaputra Nararya kepada "Ni K’tut Tantri".
Penghargaan tertinggi kedua itu diterimanya bukan karena keterlibatan dalam Pertempuran Surabaya 1945, melainkan atas jasanya sebagai wartawan sekaligus pegawai Kementerian Penerangan pada 1950.
Setidaknya, peran perempuan itu masih dikenang di negeri yang pernah menjadi bagian takdirnya.
Dia wafat di sebuah panti jompo di Redferd, Sydney, New South Wales pada Minggu malam, 27 Juli 1997.
Jelang kremasi, bendera Indonesia dan lembaran kain kuning dan putih khas Bali terhampar di atas petinya. Wasiatnya untuk diaben di Bali tak pernah terlaksana.
Dalam halaman pembuka pada buku biografinya, perempuan itu menyisipkan tulisan tangannya sebagai kenang-kenangan. Untaian kata itu ditulis dalam bahasa Inggris, yang artinya:
"Kenangan untuk rakyat Indonesia yang begitu mulia memberikan hidup mereka untuk merdeka, 1945-1949 dan bagi mereka yang masih hidup yang akan melihat bahwa pengorbanan mereka tidak sia-sia."(Mahandis Yoanata Thamrin)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.