Generasi muda, generasi Y dan Z saat ini, adalah bagian dari bangsa kita yang—lebih banyak tanpa mereka sadari—menjadi korban terburuk dari itu semua. Bukan hanya mereka tidak mampu lagi secara adekuat menjelaskan keberadaan dirinya sendiri, sebagai bagian dari sebuah bangsa atau adat/tradisi misalnya. Mereka pun mengalami kerancuan— persisnya kehilangan—acuan untuk berperilaku yang ”pantas” di depan orangtua, guru, pejabat negara, bahkan dengan teman atau pacarnya sendiri. Maka, pelanggaran norma, moralitas hingga etika kerap terjadi di kalangan mereka, tanpa para orangtua dapat mencegah, bahkan mengerti sebab musababnya.
Syukurlah jika hanya orangtua. Ia menjadi bencana ketika pihak yang kita beri wewenang dan tanggung jawab, berikut fasilitas luar biasa yang mengikutinya, yakni pemerintah dari legislatif hingga eksekutif, juga tidak memahami situasi tersebut dengan baik lalu mengeluarkan kebijakan-kebijakan hingga program yang justru sesat. Perubahan atau pergeseran mendasar dari acuan nilai, pola pikir, cara hidup hingga visi dan orientasi baik dalam skala ruang maupun waktu di kalangan generasi muda itu bukan hanya memberi ancaman besar bagi kelangsungan kebudayaan dan peradaban negeri ini, melainkan juga semua proses pembangunan yang gencar kita upayakan sekarang ini.
Kesaktian bahasa
Apa sebenarnya yang dibayangkan seorang anak muda dengan istilah "kebebasan..." atau tentang "hak asasi", tentang "kesetaraan gender", tentang "persaingan", atau tentang adat dan tradisi? Ketika kita memasuki arena yang bernama media sosial, sedikitnya kita mafhum, anak-anak remaja dan muda bangsa ini mengekspresikan kebebasan, misalnya, adalah "pendapat atau mau gue sendiri". Sementara kebebasan atau kebenaran orang lain sekadar, "ah.. itu, kan, cuma menurut lo", atau "ngomong aja lo ama tembok".
Dalam diskursus kebudayaan, sikap kolektif semacam itu mewakili gambaran masyarakat yang relatif primitif karena ketakmampuannya dalam mengomprehensi dan menciptakan konsensus tentang hal-hal yang normatif, apalagi di tingkat moralitas. Bangsa seperti ini bukanlah bangsa dengan peradaban cukup tinggi, bahkan menengah pun tidak, sehingga janganlah bermimpi kita mampu menciptakan masyarakat yang penuh etika, apalagi padat dengan estetika.
Inilah masyarakat yang telah secara berangsur menghancurkan dirinya sendiri, dimulai dengan menghina produk kebudayaannya sendiri. Menghina produk puncak kebudayaan (sebagaimana berlaku di mana saja) sendiri, yakni bahasa. Tidak mengherankan jika karya sastra kita, atau puisi sebagai ultimasi dari simbolisme kebudayaan, makin terpuruk kualitas, juga peran dan fungsinya di masyarakat. Bahasa menunjukkan bangsa. Maka, bangsa yang telah menghina bahasa sesungguhnya telah meremukkan eksistensinya.
Inilah sesungguhnya bentuk lain dari proxy war yang juga harus jadi perhatian khusus dari kalangan militer dan intelijen. Merangsek dan merasuknya program-program digital di semua bentuk dan level teknologisnya memiliki dampak dan maksud tersembunyi menghancurkan kepribadian sebuah masyarakat, setidaknya mengacaukan, sehingga ia menjadi goncang dan labil untuk kemudian mudah diarahkan atau dibentuk sesuai kepentingan pemilik teknologi serta (server) data yang mengiringi kepemilikannya.