JAKARTA, KOMPAS.com — Terdakwa Otto Cornelis Kaligis didakwa menyuap majelis hakim dan panitera Pengadilan Tata Usaha Negara di Medan, Sumatera Utara, sebesar 27.000 dollar AS dan 5.000 dollar Singapura. Menurut jaksa, uang tersebut diberikan secara bertahap.
Suap tersebut untuk memengaruhi putusan gugatan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara atas pengujian kewenangan Kejati Sumatera Utara terkait penyelidikan tentang terjadinya dugaan tindak pidana korupsi dana bantuan sosial (bansos), bantuan daerah bawahan (BDB), bantuan operasional sekolah (BOS), tunggakan dana bagi hasil (DBH), dan penyertaan modal pada sejumlah BUMD pada Pemerintah Provinsi Sumut.
"Terdakwa Otto Cornelis Kaligis bersama dengan M Yagari Bhastara alias Garry melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut, memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim," ujar jaksa Yudi Kristiana di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (31/8/2015).
Pemberian suap dilakukan sekitar April hingga Juli 2015 saat Pemprov Sumut mengajukan gugatan ke PTUN Medan. Adapun rincian pemberian suap itu diberikan kepada Ketua PTUN Medan sebesar 5.000 dollar Singapura dan 15.000 dollar AS kepada hakim PTUN Medan Dermawan Ginting dan Amir Fauzi masing-masing 5.000 dollar AS, dan panitera PTUN Medan Syamsir Yusfan sebesar 2.000 dollar AS.
Dalam dakwaan, kasus bermula dari munculnya surat penyelidikan oleh Kejaksaan Tinggi Sumut terkait dugaan korupsi dana bansos. Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho mengadukan adanya panggilan terkait penyelidikan itu kepada Kaligis selaku kuasa hukum keluarga.
Kaligis menyarankan agar Gatot tak memenuhi panggilan tersebut dan menyarankan mengajukan gugatan ke PTUN Medan atas penyelidikan Kejati Sumut. Gatot dan istrinya, Evy Susanti, yang juga hadir dalam pertemuan tersebut kemudian setuju dengan usulan Kaligis.
Gatot menunjuk sejumlah pengacara di kantor OC Kaligis and Associates sebagai kuasa hukum dan menyuruh Kepala Biro Keuangan Pemprov Sumut Ahmad Fuad Lubis untuk mendaftarkan gugatan.
Sekitar April 2015, salah satu kuasa hukum Gatot, M Yagari Bhastara alias Gerry beserta Kaligis dan anak buahnya bernama Indah, menemui Syamsir dan Tripeni untuk melakukan konsultasi gugatan. Setelah itu, Kaligis memberikan 5.000 dollar Singapura kepada Tripeni.
"Selanjutnya menemui Syamsir dan memberi uang 1.000 dollar AS," kata jaksa.
Kemudian, pada 5 Mei 2015, Kaligis dan Gerry kembali menemui Tripeni untuk berkonsultasi. Kaligis menyerahkan amplop berisi uang sebesar 10.000 dollar AS beserta sejumlah buku agar Tripeni menjadi hakim yang menangani perkaranya.
Tripeni kemudian menunjuk dua hakim lainnya, Amir Fauzi dan Dermawan Ginting, sebagai hakim anggota. Sidang perdana gugatan Pemprov Sumut digelar pada 18 Mei 2015.
Pada Juli 2015, Sekretaris dan Kepala Bagian Administrasi dari Kantor OC Kaligis & Associates, Yenny Octorina Misnan, melaporkan penerimaan uang Rp 50 juta dan 30.000 dollar AS yang diterima dari Evy.
Kaligis pun meminta Yenny untuk membungkusnya dalam tiga amplop yang berbeda. Masing-masing diisikan 3.000 dollar AS dan dua amplop berisi 1.000 dollar AS.
Keesokan harinya, Kaligis bersama Indah dan Gerry menemui Tripeni untuk menyerahkan amplop putih tersebut. Namun, Tripeni menolak. Pada hari yang sama, Kaligis dan Indah langsung kembali ke Jakarta, sementara Gerry pulang keesokan harinya.
Sementara itu, di Jakarta, Kaligis bertemu Evy di kantornya dan meminta uang sebesar 25.000 dollar AS untuk diberikan kepada hakim. Pada 5 Juli 2015, Kaligis, Indah, dan Gerry kembali ke kantor PTUN Medan.