Dalam memproses dugaan pencemaran nama baik yang dilaporkan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjadjaran Romli Atmasasmita, polisi juga menggunakan Pasal 27 Ayat (3) UU ITE.
Forum Demokrasi Digital mencatat, sejak pemberlakuan UU ITE tahun 2008, setidaknya ada lebih dari 70 kasus dilaporkan. Tidak jarang, terlapor harus dirampas kemerdekaannya dengan dibui.
Penahanan
Wahyudi Djafar dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) menilai, ancaman pidana penjara paling lama enam tahun sebagai nilai negatif dari Pasal 27 Ayat 3 UU ITE.
"Terlapor menjadi amat mudah ditahan. Siapa pelapornya? Mereka bisa berbagai pihak, seperti kepala daerah, politisi, dan pengusaha," ujar Wahyudi.
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), polisi dapat langsung menahan tersangka yang diancam hukuman pidana lebih dari lima tahun. Ketentuan itu yang dijadikan senjata untuk membuat jera seseorang sebelum dapat dibuktikan apakah bersalah atau tidak. Penahanan seolah menjadi tujuan.
Uji materiil ke Mahkamah Konstitusi terkait dengan Pasal 27 Ayat 3 UU ITE telah gagal. Untungnya, pemerintah menyadari sisi negatif aturan itu dan berupaya merevisi Pasal 27 Ayat 3 UU ITE.
Dalam sebuah dialog bertajuk kemerdekaan berekspresi di media sosial pada awal 2015, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara meminta supaya revisi terhadap UU ITE dipusatkan pada pasal-pasal terkait pencemaran nama baik.
Persoalannya, draf revisi dari pemerintah hanya berupaya menurunkan sanksi pidana penjara dari enam tahun menjadi empat tahun. Dengan demikian, tertutup kesempatan bagi penegak hukum untuk langsung menahan seorang tersangka karena diduga melanggar Pasal 27 Ayat 3 UU ITE.
"Draf itu belum diterima DPR. Kami belum dapat mengkajinya," kata anggota Komisi I DPR, Meutya Hafid. UU ITE telah ditetapkan sebagai UU Program Legislasi Nasional prioritas tahun 2015.
Revisi UU ITE, yang mungkin segera dibahas seiring mulai bersidangnya para wakil rakyat pada pertengahan Agustus ini, dengan demikian setidaknya akan menguji seberapa besar komitmen kita untuk menumbuhkembangkan demokrasi dengan mempersilakan orang bebas berpendapat.
Pada akhirnya, kita berharap media sosial menjadi ekspresi dari masa depan kita. Tentu saja ada etika yang harus dijaga dalam menggunakan media sosial. Namun, etika adalah etika sehingga jangan ada sebuah regulasi yang justru meneror kita.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Agustus 2015, di halaman 5 dengan judul "UU ITE, Demokrasi, dan Dunia Maya".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.