Hal yang terakhir ini semakin menarik kalau proyeksi peta agama dunia yang dirilis lembaga riset demografi Pew Research Center (PRC) pada April 2015 itu benar. Riset berjudul The Future of World Religions: Population Growth Projections 2010-2050 tersebut mengolah data umur, tingkat kelahiran dan kematian, data migrasi dan perpindahan agama, serta populasi delapan kelompok agama mayoritas. Pada 2010, populasi delapan agama mayoritas di dunia: Kristen 31,4 persen, Islam 23,2 persen atau 1,6 miliar pemeluk, Hindu 15 persen, Buddha 7,1 persen, agama lokal 5,9 persen, Yahudi 0,2 persen, agama tak berafiliasi (unaffiliated) 16,4 persen seperti ateisme dan agnostik, dan agama lain (0,8 persen).
Proyeksi yang dibuat PRC pada 2050, populasi Muslim menanjak paling tinggi menjadi 29,7 persen (2,76 miliar pemeluk). Kristen stabil di angka 31,4 persen. Persentase Muslim dan Kristen diperkirakan sama pada 2070 (32,3 persen). Tiga dekade berikutnya, 2100, Muslim menjadi 34,9 persen dan Kristen 33,8 persen. Riset ini juga mencatat, jumlah penganut ateisme dan agnostik serta kaum tak beragama, meski meningkat di beberapa negara seperti AS dan Perancis, secara global menurun dari 16,4 persen (pada 2010) menjadi 13,2 persen (pada 2050). Sementara agama lain, seperti Hindu, Buddha dan Yahudi, tidak banyak mengalami pergeseran hingga empat dekade mendatang.
Apa makna data tersebut bagi NU dan umat Islam Indonesia? Indonesia sebagai negeri mayoritas Muslim terbesar di dunia, dan NU sebagai organisasi berbasis massa Islam yang (juga diklaim) terbesar di dunia, tentu berkepentingan dengan perubahan peta dunia itu. Persoalannya, apakah peningkatan jumlah Muslim itu akan membawa ketenangan dan perdamaian dunia atau justru jadi ancaman. Pada konteks inilah, NU seharusnya berkepentingan memastikan perkembangan Islam itu menuju ke arah perdamaian.
NU dan persoalan kebangsaan
Sejak kelahirannya tahun 1926, NU telah menunjukkan relevansi kehadirannya sebagai organisasi sosial keagamaan yang senantiasa menyatu dengan spirit kebangsaan. Para ulama pendiri NU tidak saja telah meletakkan landasan beragama dan bernegara yang kokoh, tetapi juga telah memberi teladan bagaimana seharusnya jadi Muslim di tengah keragaman bangsa. Keislaman yang dirintis ulama-ulama NU adalah model keislaman yang bisa menjadi jangkar kehidupan bangsa dan memayungi segala jenis perbedaan.