KOMPAS - Dalam sepekan terakhir, perhatian publik tersita oleh keberadaan panitia seleksi (pansel) baru yang dibentuk pemerintah, yakni Pansel Calon Pimpinan KPK. Sembilan perempuan ditunjuk untuk mencari manusia-manusia setengah dewa yang akan ditempatkan di lembaga antirasuah tersebut.
Keberadaan Pansel KPK seolah menenggelamkan pansel-pansel yang lain. Padahal, ada sejumlah pansel yang juga tengah bekerja, dan mungkin kini sedang sibuk-sibuknya. Misalnya, Pansel Komisi Yudisial, Pansel Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi (Sekjen MK), dan barang kali pansel di kementerian/instansi lainnya. Dan, yang baru saja menyelesaikan pekerjaan adalah Pansel Komisi Kejaksaan.
Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie bahkan mengungkapkan, pansel saat ini telah menjadi semacam profesi baru. Ada orang-orang yang akan laris manis menjadi pansel.
Selain karena agenda rutin pemilihan pimpinan lembaga negara/komisi yang dilaksanakan secara periodik, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) mengatur sistem seleksi terbuka untuk pengisian jabatan pimpinan tinggi (JPT) di kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.
Sistem pengisian JPT yang digagas di dalam UU ASN memang sengaja diberlakukan supaya JPT diisi orang-orang yang berkualitas. Meritokrasi ingin dicapai, sekaligus menghilangkan kebiasaan yang selama ini biasa terjadi di mana posisi JPT hanya diisi orang-orang dekat menteri/kepala lembaga dan kepala daerah, dengan mengabaikan unsur kapabilitas dari orang-orang itu.
Untuk mencapai tujuan tersebut, orang-orang yang masuk dalam pansel, haruslah juga orang-orang yang berkapasitas. "Kami menganjurkan setiap pansel terdiri dari orang-orang yang berkapasitas secara akademis dan setidaknya pernah menjabat di pemerintahan, sehingga mereka tahu persis kualitas dan kompetensi yang dibutuhkan untuk JPT," kata Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Sofian Effendi.
Stok lama
Maka tidak heran, nama-nama terkenal seperti mantan Menteri Lingkungan Hidup (1993-1998) Sarwono Kusumaatmadja dan mantan Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (2011-2014) Eko Prasojo, berulangkali dipilih masuk pansel.
Tak hanya mantan menteri, sejumlah mantan pejabat juga selalu menjadi rujukan untuk masuk pansel JPT di kementerian/lembaga. Di antaranya mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan, mantan Kepala Lembaga Administrasi Negara JB Kristiadi, dan mantan Gubernur Lemhanas Ermaya Suradinata.
Sementara di pansel untuk pejabat publik (lembaga negara atau komisi independen), ada nama-nama seperti Harkristuti Harkrisnowo (Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Hukum dan HAM), Imam Prasojo (sosiologi Universitas Indonesia), Saldi Isra (Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Padang), dan sejumlah mantan pimpinan KPK. Harkristuti, misalnya, pernah menjadi Pansel KPK (dua kali) dan Pansel Komisi Yudisial (dua kali), Saldi pernah di Pansel KPU, Pansel KPK, Pansel Hakim Konstitusi. Imam Prasojo pun sangat sering terlibat pemilihan pejabat publik seperti Pansel KPK, Pansel KPU, dan lain-lain.
Mencari tokoh berkapasitas untuk menjadi pansel bukan perkara mudah. Menurut Sofian, orang-orang tersebut terbatas jumlahnya. Selain itu, meski sudah tidak berada di pemerintahan, keahlian yang mereka miliki dibutuhkan oleh banyak pihak, sehingga aktivitas keseharian mereka padat. Alhasil tidak jarang pansel di satu tempat harus menanti pansel di tempat lain selesai atau digelarnya pansel disesuaikan dengan agenda setiap tokoh tersebut
Seni kerja pansel
Menurut Jimly, keberadaan Pansel tersebut sudah salah kaprah. Ia mengakui bahwa maksud pansel tersebut bertujuan baik, yakni demi obyektivitas dan keterbukaan.
"Tapi kasihan, kan, bangsa ini kalau semua jabatan mulai dari lurah sampai presiden dilelang. Semua dilelang, semua orang disuruh melamar. Pasti orang baik-baik tidak mau melamar, ngapain? Maka negara ini akan diurus oleh orang-orang yang tidak becus," kata Jimly.
Ia menambahkan, "Seharusnya lihat konteksnya. Dan dibatasi. Tidak semuanya dibegitukan. Maksudnya memang baik, tapi perlu ada pembatasan."
Namun, ketentuan tersebut telanjur ada di dalam UU ASN. Oleh karena itu, seni mengimplementasikan ketentuan UU itulah yang menjadi kunci.
Terkait dengan masalah tersebut, Sofian mengungkapkan, keberadaan tokoh-tokoh tersebut di dalam pansel tak hanya untuk menyeleksi pelamar melalui penilaian karya ilmiah atau mewawancarai.
Di beberapa tempat, anggota pansel juga menjadi pemburu orang-orang berkualitas di pemerintahan yang memenuhi kriteria untuk mengisi posisi JPT tertentu. Ini semata-mata supaya mereka yang melamar posisi JPT memang orang-orang yang berkualitas, bukan sekadar pencari kerja.
Selama sistem seleksi terbuka diterapkan, tambah Sofian, KASN melihat proses sudah berjalan baik. Sejumlah potensi untuk merusak tujuan mulia digelarnya seleksi terbuka berhasil ditangkal. Misalnya, masuknya kader partai menjadi anggota pansel di sejumlah pansel. "Kami tidak mau ada intervensi politik dalam pengisian JPT," katanya.
Menurut Eko Prasojo, sistem seleksi terbuka merupakan sistem baru di pemerintahan. Oleh karena itu, wajar jika masih banyak yang perlu dibenahi. Antara lain, perlunya pembuatan metode untuk mengukur kompetensi seseorang, baik dari aspek manajerial, sosiokultural, dan teknis. Selain itu, perlu juga ada kriteria siapa saja yang bisa masuk menjadi anggota pansel. (A Ponco Anggoro/Susana Rita)
* Artikel ini terbit di harian Kompas edisi 24 Mei 2015 dengan judul "Kerjaan Baru Itu Bernama Pansel"