Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Fahri Hamzah: Myanmar Tidak Layak Jadi Anggota ASEAN

Kompas.com - 22/05/2015, 14:15 WIB
Ihsanuddin

Penulis

Sumber Antara


JAKARTA, KOMPAS.com
 — Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengusulkan agar Myanmar dikeluarkan dari keanggotaan ASEAN. Pembantaian dan pengusiran entis Rohingya dari Myanmar yang membuat mereka terpaksa meninggalkan tanah kelahirannya, kata Fahri, membuat negara itu tidak layak untuk dijadikan anggota ASEAN.

"Jadi, kita itu sebagai orang ASEAN lihat Myanmar belum layak jadi anggota ASEAN. Sudah dibantu seperti apa pun masa concern-nya enggak tinggi," kata Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (22/5/2015).

Fahri mendorong Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam melihat tindakan yang dilakukan Pemerintah Myanmar. Dia menyarankan pemerintah segera membuat payung hukum baru yang mengatur mengenai pencari suaka ini. Payung hukum itu bisa dibentuk dengan cepat apabila Presiden Joko Widodo mengeluarkan keputusan presiden (keppres).

"Yang namanya pencari suaka itu cara atasinya beda dengan trafficking atau migran. Pencari suaka harus ditangani secara khusus. Mereka itu cari perlindungan kepada kita," ucap Fahri.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera ini meyakini Indonesia adalah negara yang besar dan luas sehingga tidak akan mengalami kesulitan apabila membantu menampung ribuan warga Rohingnya. Sebaliknya, Fahri meyakini Indonesia nantinya akan mendapat bantuan pula.

"Itu harus jadi keyakinan. Bila tolong orang susah, kita akan dapat pertolongan dengan berbagai cara. Terima itu, jangan atas dasar enggak punya ketentuan kita mau menolak orang, enggak boleh itu," ucapnya.

Panglima militer Myanmar, seperti dikutip Antara, mengatakan, sebagian "manusia perahu" yang mendarat di Malaysia dan Indonesia bulan ini diduga berpura-pura sebagai warga Rohingya untuk mendapatkan bantuan PBB. Menurut militer Myanmar, banyak di antaranya pelarian dari Banglades.

Pernyataan tersebut dibuat setelah Amerika Serikat mengecam Myanmar atas kegagalannya mengatasi penyebab bencana itu, yang menurut pengamat berakar dari penolakan Myanmar mengakui Rohingya, suku kecil tinggal di Myanmar barat, sebagai warga negara.

Sebagian besar dari 1,1 juta penduduk Rohingya tidak memiliki kewarganegaraan dan hidup dalam kondisi seperti apartheid. Sekitar 140.000 orang mengungsi dalam bentrokan berdarah dengan warga Buddha di Provinsi Rakhine di wilayah barat pada 2012.

Badan-badan PBB mendesak pemerintah di kawasan itu untuk melindungi ribuan imigran yang terdampar dalam kapal-kapal di Teluk Benggala dan Laut Andaman dengan persediaan makanan dan air yang terus menipis.

Ratusan imigran, termasuk Rohingya dari Myanmar dan warga Banglades, yang lari menghindari kekerasan dan kemiskinan di negara asal, diusir balik ke laut oleh Thailand, Malaysia, dan Indonesia pada Mei. Banyak di antaranya yang sakit dan menghadapi masalah kelaparan.

Jenderal senior Myanmar Min Aung Hlaing dalam pertemuannya dengan Wakil Menlu AS Antony Blinken mengindikasikan bahwa sebagian besar korban diperkirakan mengasumsikan diri mereka sendiri sebagai Rohingya dari Myanmar dengan harapan menerima bantuan dari UNHCR.

Ia mengutip laporan bahwa para manusia perahu itu berasal dari Banglades.

"Saya tekankan perlunya menyelidiki negara asal mereka daripada menuduh sebuah negara," demikian dilaporkan harian Global New Light of Myanmar.

Blinken menekankan, perlunya Myanmar mengatasi penyebab migrasi tersebut, termasuk diskriminasi dan kekerasan, yang berlatar belakang rasial.

Warga Rohingya sejak lama sudah mengeluhkan diskriminasi pemerintah di Myanmar dan ditolaknya kewarganegaraan mereka. Myanmar membantah diskriminasi terhadap etnis tersebut dan mengatakan hal itu bukanlah sumber masalah.

Perdana Menteri Malaysia Najib Razak menjanjikan bantuan dan memerintahkan angkatan laut untuk menyelamatkan ribuan orang yang terkatung-katung di lautan. Sementara itu, pejabat Thailand mengatakan, Myanmar telah sepakat untuk menghadiri konferensi darurat untuk membicarakan krisis itu.

Malaysia dan Indonesia mengatakan, mereka akan menampung sementara sebanyak 7.000 imigran yang saat ini masih terkatung-katung di lautan, tetapi tidak lebih dari itu. Kedua negara juga mengatakan bahwa tempat perlindungan sementara akan didirikan untuk menampung para imigran.

Namun, Thailand yang selama ini menjadi titik transit bagi imigran yang ingin ke Malaysia untuk bekerja tidak akan mengikuti langkah itu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Hardiknas 2024, Puan Maharani Soroti Ketimpangan Pendidikan hingga Kesejahteraan Guru

Hardiknas 2024, Puan Maharani Soroti Ketimpangan Pendidikan hingga Kesejahteraan Guru

Nasional
Rakornis, Puspom dan Propam Duduk Bersama Cegah Konflik TNI-Polri Terulang

Rakornis, Puspom dan Propam Duduk Bersama Cegah Konflik TNI-Polri Terulang

Nasional
Hardiknas 2024, Pertamina Goes To Campus 2024 Hadir di 15 Kampus Terkemuka

Hardiknas 2024, Pertamina Goes To Campus 2024 Hadir di 15 Kampus Terkemuka

Nasional
Atasan Tak Tahu Brigadir RAT Kawal Pengusaha di Jakarta, Kompolnas: Pimpinannya Harus Diperiksa

Atasan Tak Tahu Brigadir RAT Kawal Pengusaha di Jakarta, Kompolnas: Pimpinannya Harus Diperiksa

Nasional
Harap PTUN Kabulkan Gugatan, PDI-P: MPR Bisa Tidak Lantik Prabowo-Gibran

Harap PTUN Kabulkan Gugatan, PDI-P: MPR Bisa Tidak Lantik Prabowo-Gibran

Nasional
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron Absen Sidang Etik Perdana

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron Absen Sidang Etik Perdana

Nasional
Terbukti Selingkuh, Hakim Pengadilan Agama di Asahan Diberhentikan

Terbukti Selingkuh, Hakim Pengadilan Agama di Asahan Diberhentikan

Nasional
Dukung Program Prabowo-Gibran, Partai Buruh Minta Perppu Cipta Kerja Diterbitkan

Dukung Program Prabowo-Gibran, Partai Buruh Minta Perppu Cipta Kerja Diterbitkan

Nasional
Sidang Gugatan PDI-P Kontra KPU di PTUN Digelar Tertutup

Sidang Gugatan PDI-P Kontra KPU di PTUN Digelar Tertutup

Nasional
Hakim MK Berang KPU Tak Hadiri Sidang Sengketa Pileg, Tuding Tak Pernah Serius sejak Pilpres

Hakim MK Berang KPU Tak Hadiri Sidang Sengketa Pileg, Tuding Tak Pernah Serius sejak Pilpres

Nasional
PTUN Gelar Sidang Perdana PDI-P Kontra KPU Hari Ini

PTUN Gelar Sidang Perdana PDI-P Kontra KPU Hari Ini

Nasional
Profil Andi Gani, Tokoh Buruh yang Dekat dengan Jokowi Kini Jadi Staf Khusus Kapolri

Profil Andi Gani, Tokoh Buruh yang Dekat dengan Jokowi Kini Jadi Staf Khusus Kapolri

Nasional
Timnas Lawan Irak Malam Ini, Jokowi Harap Indonesia Menang

Timnas Lawan Irak Malam Ini, Jokowi Harap Indonesia Menang

Nasional
Peringati Hardiknas, KSP: Jangan Ada Lagi Cerita Guru Terjerat Pinjol

Peringati Hardiknas, KSP: Jangan Ada Lagi Cerita Guru Terjerat Pinjol

Nasional
Kekerasan Aparat dalam Peringatan Hari Buruh, Kontras Minta Kapolri Turun Tangan

Kekerasan Aparat dalam Peringatan Hari Buruh, Kontras Minta Kapolri Turun Tangan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com