"Tentang penyikapan negara terhadap tindak pidana extraordinary, saya kira perlu ada kebijakan baru," kata Tjatur, saat dihubungi, Selasa (17/3/2015).
Hal tersebut diungkapkan Tjatur menyusul munculnya wacana revisi terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly. Wacana muncul karena syarat remisi yang diberikan negara kepada koruptor dianggap diskriminatif. PP itu mengatur narapidana tindak pidana khusus seperti korupsi, narkoba dan terorisme bisa mendapat dan pembebasan bersyarat jika mau menjadi justice collabolator, atau bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar kejahatan.
Selama ini, Tjatur mengatakan, pemerintah menjamin kebutuhan hidup para terpidana ketika mereka menjalani masa hukuman di dalam penjara. Sementara, proses pembinaan terhadap mereka kurang berjalan maksimal.
"Yang terjadi justru malah kalau pemakai narkoba masuk penjara, keluar malah jadi pengedar karena bergaul dengan pengedar di penjara. Atau mereka koruptor kecil masuk penjara, keluar malah jadi koruptor besar," ujar politisi Partai Amanat Nasional ini.
Tjatur menambahkan, seharusnya ada sanksi sosial yang dijatuhkan kepada mereka yang kini tinggal di penjara. Ia mencontohkan, penjara di Amerika Serikat mewajibkan para terpidana untuk bekerja secara masif sesuai dengan keahlian yang mereka miliki. Sehingga, para terpidana justru dapat menghasilkan berbagai macam karya yang justru dapat memberikan pemasukan yang besar bagi negara.
"Di sana itu banyak profesor, doktor yang dipenjara. Tapi tenaga mereka dimanfaatkan secara masif hingga pada akhirnya membuat mereka jera dan negara untung," kata Tjatur.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.