Alasan keenam, wacana ini sangat menyakitkan rakyat di tengah krisis pangan dan tingginya harga beras. Sebagai contoh, jika 10 partai yang ada mendapatkan Rp 1 triliun per partai, maka akan ada alokasi Rp 10 triliun per tahun.
"Padahal, alokasi untuk cadangan beras pemerintah di dalam APBN 2015 pada Kementerian Pertanian saja hanya Rp 1,5 triliun. Cadangan stabilisasi pangan hanya Rp 2 triliun, sementara cadangan stabilitas pangan Rp 0. Hal ini menandakan pemerintah lebih berpihak kepada elite dibandingkan kepada rakyatnya," kata Apung.
Alasan ketujuh, terkait proses audit oleh BPK, konflik kepentingan dikhawatirkan akan terjadi lantaran beberapa anggota BPK berlatar belakang politisi. Hal ini, kata dia, tentu saja akan sangat mengkhawatirkan dalam level akuntabilitas.
Dana yang begitu besar, kata Apung, tentunya akan sulit diaudit, apalagi jika auditornya ternyata berlatar belakang kader parpol. Jadi, pertanggungjawaban bisa saja tidak berjalan secara terbuka, tetapi justru cenderung transaksional.
Alasan kedelapan, wacana ini akan memancing parpol di daerah melakukan hal yang sama, menaikkan anggaran bantuan. Dampaknya, hal itu semakin memiskinkan keuangan daerah.
"Dari hal ini kita dapat merasakan bahwa wacana ini sangat meresahkan," ujarnya.
Alasan terakhir, lemahnya penegakan hukum, terutama ketika KPK dikriminalisasi, berakibat pada potensi korupsi yang semakin tinggi. Saat ini, kata dia, perilaku politisi yang tersangkut korupsi semakin "menggila" dengan melakukan proses praperadilan terhadap kasusnya.
"Nah, jika korupsi terjadi dalam dana bantuan keuangan parpol, maka kemungkinan akan terjadi serangan balik dari partai politik kepada penegak hukum. Serangan balik ini dilakukan untuk mempertahankan citra partai politik, sekalipun uang rakyat telah dikorupsi," pungkas Apung.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.