Oleh: A Ponco Anggoro
JAKARTA, KOMPAS - Bayangkan jika semua institusi penegak hukum di Indonesia satu visi, satu tindakan, dan bersinergi memberantas korupsi. Tentu akan membuat gentar mereka yang berniat korupsi. Namun, sinergi itu hingga kini masih menjadi harapan, bahkan sering terkoyak saat oknum di satu institusi penegak hukum, disidik penegak hukum lain.
Terkoyaknya sinergi antarpenegak hukum, terakhir terjadi ketika 13 Januari lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka kasus korupsi.
Beberapa saat setelah langkah KPK tersebut, Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri menetapkan dua pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, sebagai tersangka. Dua pimpinan KPK lainnya, Adnan Pandu Praja dan Zulkarnain, juga pernah diselidiki Bareskrim Polri. Demikian pula dengan sejumlah pegawai KPK.
Terganggunya relasi antara KPK dan Polri bukan kali pertama terjadi. Ini konflik ketiga. Konflik pertama terjadi pada 2009 yang dikenal dengan istilah Cicak lawan Buaya. Ketegangan kedua terjadi tiga tahun berikutnya saat KPK menetapkan mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo sebagai tersangka kasus korupsi di proyek simulator SIM.
Di tengah ketegangan relasi KPK-Polri belakangan ini, Presiden Joko Widodo telah mempertemukan KPK, Polri, dan Kejaksaan. Dalam pertemuan itu, Presiden menekankan pentingnya sinergi antarpenegak hukum. Ego sektoral harus dikesampingkan.
Namun, tetap saja, solusi komprehensif dari masalah yang kerap mengganjal dalam relasi penegak hukum itu belum terjawab. Padahal, bukan tidak mungkin, konflik serupa akan terulang di kemudian hari, terutama saat oknum salah satu institusi ada yang melakukan kejahatan dan ditangani institusi lainnya.
Solusi
Jika ditilik ke belakang, politik hukum di balik semua aturan perundang-undangan pemberantasan korupsi, yang lahir setelah Reformasi 1998, sebenarnya sudah jelas, yaitu memberikan kepercayaan pemberantasan korupsi kepada KPK. Ini muncul karena krisis kepercayaan publik terhadap Polri dan Kejaksaan.
Dengan dasar itu, Presiden seyogianya dapat memproteksi KPK dengan memaksa lembaga negara lain menyesuaikan dengan apa yang dilakukan KPK. Dalam posisi itu, ketika ada institusi penegak hukum lain yang menolak atau justru menyerang balik upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK, Presiden berwenang menindaknya. Terlebih karena lembaga-lembaga negara itu bertanggung jawab kepada Presiden. Ini berbeda dengan KPK yang merupakan lembaga independen.
KPK tidak bisa dibiarkan sendirian saat berkonflik dengan institusi penegak hukum lainnya. Dukungan sukarela yang besar dari publik, yang selalu hadir setiap KPK diserang, tidak akan cukup untuk memproteksi KPK. Dukungan politik, apalagi dari Presiden, tentu sangat dibutuhkan supaya KPK tetap dapat menjalankan amanahnya sebagai pemberantas korupsi.
Pada saat yang sama, komunikasi antarpetinggi institusi penegak hukum juga harus terjalin dengan baik hingga perasaan saling curiga satu sama lain bisa ditepis. Dengan komunikasi yang kuat, akan terbangun desain pemberantasan korupsi yang komprehensif.
Di sisi lain, perlu dipertimbangkan pula untuk merevisi sejumlah undang-undang yang mengatur tugas Polri-Kejaksaan-KPK. Oleh karena konflik kerap terjadi, tidak tertutup kemungkinan jika agenda pemberantasan korupsi dipegang satu institusi saja, yaitu KPK.
KPK sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi telah teruji. KPK mampu mengungkap dan menindak pelaku-pelaku korupsi kelas kakap yang sebelumnya nyaris tak tersentuh. Terlebih kepercayaan publik terhadap KPK dalam memberantas korupsi melebihi kepercayaan terhadap penegak hukum lainnya.
Langkah lain untuk mencegah benturan antarinstitusi, bisa pula dengan menempatkan semua penyidik di satu lembaga khusus. Dengan demikian, penyidikan khusus oleh lembaga itu. Bisa pula dengan membolehkan KPK untuk merekrut penyidik sendiri, tidak seperti sekarang penyidik KPK berasal dari Kejaksaan dan Kepolisian sehingga konflik kepentingan bisa dicegah.