"Makanya, aku mau dipecat ini karena kita enggak nyangka kalau pertemuan ini jadi besar kayak gini," ujar Ancak di Gedung KPK, Jakarta, Senin (23/2/2015).
Ancak mengaku berteman cukup dekat dengan Abraham sebagai sesama "anak rantau" dari Makassar. Saat Abraham meminta izin kepadanya untuk menggunakan apartemennya sebagai tempat pertemuan, ia tidak menaruh curiga. Ia tidak menyangka pertemuan itu akan berbuntut panjang hingga menyeretnya sebagai saksi di Mabes Polri.
Ancak mengatakan, Erwin Aksa, selaku pemilik apartemen, tidak mengetahui bahwa apartemennya digunakan untuk pertemuan Abraham dan sejumlah elite PDI Perjuangan. Setelah hal tersebut diketahui secara luas oleh publik, Ancak bermasalah dengan perusahaannya.
"Tentu perusahaan yang tempat saya jadi lawyer itu mungkin akan mempertimbangkan kembali keberadaan saya, apakah lanjut nantinya atau enggak. Ya kelihatannya sih, kemungkinan akan berhenti," kata Ancak.
Ancak mengaku tidak tahu dan tidak terlibat dalam percakapan yang berlangsung 35 hingga 40 menit itu. Menurut Ancak, saat itu ia sedang berada di ruang kerjanya, sementara pertemuan terjadi di ruang tamu apartemen.
Ancak mengaku hanya menempati apartemen itu karena difasilitasi oleh Bosowa Group, tempatnya bekerja sebagai konsultan hukum. Ancak telah menempati unit apartemen yang berlokasi di kawasan SCBD, Jakarta Selatan, itu selama tiga tahun.
Ancak pernah bersaksi di Badan Reserse Kriminal Polri dalam kasus dugaan pelanggaran Pasal 36 juncto Pasal 65 Undang-Undang RI Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang dilakukan Abraham Samad. Ia merupakan pemilik apartemen yang digunakan untuk pertemuan antara Abraham dan sejumlah elite PDI-P.
Kasus itu dilaporkan oleh Direktur Eksekutif KPK Watch M Yusuf Sahide ke Bareskrim Polri pada 26 Januari 2015 lalu. Barang bukti yang digunakan berupa satu bundel cetak dokumen dari situs Kompasiana dengan judul "Rumah Kaca Abraham Samad" pada 17 Januari 2015.
Pelapor menduga pertemuan Abraham dengan petinggi partai politik itu membahas kesepakatan mengenai proses hukum yang melibatkan politisi PDI-P, Izedrik Emir Moeis. Kesepakatan itu diduga terkait keinginan Samad menjadi calon wakil presiden bagi Joko Widodo dan keringanan hukum bagi Emir Moeis. Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi telah menjatuhkan vonis kepada Emir Moeis dalam kasus suap proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Tarahan, Lampung, tahun 2004. Emir divonis 3 tahun penjara dan denda Rp 150 juta subsider 3 bulan penjara.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.