JAKARTA, KOMPAS.com — Kepala Divisi Humas Polri Irjen Ronny F Sompie mengatakan, kasus yang menjerat Ketua KPK Abraham Samad bukan sekadar pemalsuan dokumen biasa. Ada hal lain yang saat ini belum bisa diungkapkan oleh Polri.
Ronny mengatakan hal tersebut untuk menjawab pertanyaan wartawan mengenai alasan Abraham dijerat sebagai tersangka pemalsuan dokumen, yang sebenarnya banyak dilakukan oleh berbagai pihak. Abraham diduga memalsukan dokumen kartu keluarganya dan memasukkan nama seorang wanita bernama Feriyani Lim.
"Kawan-kawan (media) kan tidak tahu hasil penyidikan itu seperti apa. Tidak sesimpel itu," kata Ronny di Jakarta, Selasa (17/2/2015).
Misalnya untuk alat bukti, kata Ronny, tidak hanya sekadar ditemukan penitipan KTP atas nama Feriyani Lim. Ada bukti lain yang tidak bisa diungkapkan di proses penyidikan. (Baca: Abraham Samad Resmi Jadi Tersangka)
"Nanti tunggu saja dibuka di persidangan," ucapnya.
Ronny menambahkan, dalam menangani kasus yang melibatkan penyelenggara tinggi negara, Polri tidak akan main-main. Pihaknya tidak akan berani menetapkan Abraham sebagai tersangka jika tidak memiliki alat bukti yang cukup.
"Ini risiko bagi penyidik besar. Taruhannya institusi, include di dalamnya karena penyidik mewakili institusi," ujar Ronny.
Mantan Hakim Mahkamah Konstitusi Mahfud MD sebelumnya menganggap dugaan pemalsuan dokumen yang dituduhkan terhadap Abraham bukan tindak pemalsuan serius. Jika benar, hal itu sifatnya hanya mala prohibita.
"Saya melihat kasus Samad yang di Sulawesi Barat itu kan hanya sifatnya mala prohibita, bukan serius pemalsuan," ujar Mahfud di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (6/2/2015).
Mahfud menjelaskan, mala prohibita cenderung pada pelanggaran aturan yang tidak merugikan pihak mana pun. Dalam ruang dan waktu tertentu yang berbeda, tindakan tersebut dapat saja tidak lagi dianggap sebagai perbuatan jahat dan dilarang oleh undang-undang.
"Misalnya, orang mencantumkan nama orang di KK (kartu keluarga) karena keperluan praktis, misalnya saya punya pembantu tanpa ada dokumen resmi dari daerah asalnya. Saya bawa ke kantor kelurahan, 'Tolong nih cantumkan pembantu saya ke dalam keluarga saya'," kata Mahfud.
Mahfud mengatakan, tindakan tersebut memang menyalahi prosedur, tetapi bukan dianggap sebagai kesalahan yang melanggar undang-undang. Contoh lain, kata Mahfud, banyak pejabat dan hakim yang memiliki lebih dari satu kartu identitas. (Baca: Jika Benar, Mahfud Anggap Kasus Pemalsuan Abraham Bukan Masalah Serius)
Begitu pula saat menjadi Menteri Pertahanan pada era pemerintahan Abdurrahman Wahid, Mahfud bercerita bahwa tiba-tiba ada orang datang dan langsung memberikan KK dan kartu tanda penduduk sebagai penghuni rumah dinas. Padahal, ia belum pernah meminta dan mengurus pemberkasan itu.
"Kalau begitu-begitu dijadikan pidana yang serius, menimbulkan kesan kriminalisasi," kata Mahfud.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.