Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Upaya Menguatkan Peran Umat Islam

Kompas.com - 06/02/2015, 15:06 WIB


JAKARTA, KOMPAS
- Dengan 85 persen penduduknya memeluk Islam, Republik Indonesia termasuk negara dengan umat Muslim terbesar di dunia. Tokoh-tokoh Islam pun berpartisipasi dalam memperjuangkan kemerdekaan RI. Kini, untuk menguatkan lagi peran umat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Majelis Ulama Indonesia menginisiasi Kongres Umat Islam Indonesia VI di Yogyakarta.

Kongres yang digelar pada 8-11 Februari itu mengangkat tema "Penguatan Peran Politik, Ekonomi, dan Sosial Budaya Umat Islam untuk Indonesia yang Berkeadilan dan Berperadaban". Berikut petikan wawancara Kompas dengan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) sekaligus penanggung jawab Kongres Umat Islam Indonesia VI, Din Syamsuddin, di Jakarta, Rabu (4/2/2015), mengenai kongres tersebut.

Apa yang melatarbelakangi pelaksanaan Kongres Umat Islam?

Pertama, saya akan mengisahkan sejarah. Kongres Umat Islam Indonesia dihidupkan kembali oleh MUI 1998 untuk menyongsong reformasi Indonesia. MUI saat itu berpikir, perubahan sosial politik di Indonesia perlu mendapatkan perhatian. Ide itu direspons baik, apalagi sebagian tokoh reformasi adalah tokoh-tokoh sentral umat Islam, seperti Amien Rais dan Abdurrahman Wahid.

Kongres tahun 1998 itu disebut Kongres III, karena sebelumnya telah ada dua pertemuan umat Islam monumental, yaitu Kongres I, tahun 1938, ketika tokoh-tokoh puncak umat Islam berkumpul dan membahas masalah-masalah keumatan.

Kongres 1938 itu mengukuhkan MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), badan federasi organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam yang dibentuk pada 1937. Melihat tahunnya, 1938, maka dapat dipahami Kongres I juga membicarakan kemerdekaan Indonesia. Kongres II digelar pada 3-8 November 1945, beberapa bulan setelah kemerdekaan. Seluruh elemen umat Islam berkumpul dan bersepakat untuk menetapkan Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), yang berdiri tahun 1943, sebagai partai Islam tunggal.

Materi apa yang menjadi fokus bahasan dalam Kongres VI?

Kami akan membicarakan gatra bangsa, yakni politik, ekonomi, dan budaya, dikaitkan dengan ke-Indonesia-an. Jadi lebih untuk melakukan evaluasi kritis terhadap perjalanan bangsa, dan otokritik terhadap keberadaan dan peran umat Islam dalam kehidupan bangsa. Sebab, Islam dan Indonesia merupakan dua hal yang tak terpisahkan. Maju-mundurnya Indonesia akan ikut ditentukan dengan maju-mundurnya umat Islam. Dalam konteks demikianlah Kongres Umat Islam VI ini kami selenggarakan.

Ada evaluasi kritis terhadap perjalanan bangsa, sekaligus otokritik terhadap umat Islam sendiri, tentang derajat perannya terhadap Indonesia.

Mengapa kehidupan bangsa dianggap perlu dikritisi?

Kami bertolak dari kesimpulan awal, bahwa kehidupan nasional kita dewasa ini terdeviasi dan terdistorsi dari cita-cita nasional yang diletakkan pendiri bangsa. Kalau kita baca UUD 1945 itu, kan, salah satunya mewujud dalam cita-cita, yakni Sebuah Indonesia yang maju, tetapi juga di situ ada kedaulatan. Baik dalam bidang politik, maupun ekonomi dan budaya, sebagaimana direfleksikan Trisakti Bung Karno (Presiden Soekarno). Berdaulat secara politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya.

Indonesia yang seperti itulah yang dicitaka-citakan founding fathers kita. Namun, kami tengarai, sekarang mengalami pergeseran, penyimpangan. Nah, umat Islam yang juga ikut menanam saham dalam bernegara juga harus merasa bertanggung jawab terhadap perjalanan bangsa. Maka, selain mengevaluasi kritis, juga melihat ke dalam dirinya, otokritik, juga ada kesimpulan awal bahwa peran umat Islam mengalami kelemahan, pengenduran, kendur.

Lalu, mengapa peran umat Islam perlu dikuatkan?

Kalau dulu, sebelum negara merdeka itu, umat Islam lebih tampil sebagai problem solver. Namun kalau sekarang, tetap pada level tertentu menjadi problem solver, tapi pada sisi yang lain juga menjadi part of the problem, bagian dari masalah bangsa. Ketika ada program pembangunan yang berhubungan dengan rakyat, seperti pengentasan rakyat dari kemiskinan, buta aksara, itu sasarannya adalah umat Islam. Kondisi ini yang ingin diubah, itulah mengapa memilih penguatan peran.

Umat Islam yang seyogianya bisa menjadi kekuatan Indonesia untuk menghadapi liberalisasi pasca reformasi, justru tidak luput dari arus itu. Padahal, arus liberalisasi, baik di bidang politik, ekonomi, maupun budaya, masuk secara deras ke Indonesia. Sementara Indonesia tak cukup siap dengan strategi kebudayaan menghadapinya. Rakyat gagap, gamang, galau menghadapi tantangan itu, sementara di dalamnya ada umat Islam.

Kalau ini berlanjut, dengan ke-Indonesia-an yang goyah, dan umat Islam di dalamnya juga goyah, maka dalam rentang waktu yang panjang Indonesia tak akan tampil sebagai negara. Apalagi jika melihat tantangan globalisasi, seperti munculnya masyarakat ekonomi ASEAN, munculnya perubahan di Asia sebagai kawasan pertumbuhan abad ini.

Parpol berbasis massa Islam berpotensi kehilangan dukungan. Apa itu juga akan menjadi pembahasan?

Itu termasuk yang akan dibahas dalam gatra politik. Kami melihat sejak reformasi Indonesia berubah, terutama setelah UUD 1945 diamandemen. UUD hasil amandemen justru menjadi tidak pas dengan cita-cita nasional pada pembukaan UUD, dan Pancasila. Dalam bidang politik terjadi perubahan yang fundamental. Pemilihan umum secara langsung memang berhasil mengukuhkan demokrasi itu sendiri, yakni rakyat yang berdaulat. Namun juga tak luput dari sisi negatif, menyangkut arus kebebasan yang sangat-sangat kuat, sampai ke titik kebablasan.

Pada satu sisi pemilihan langsung demokratis belum tentu menjaring pemimpin berkualitas karena sangat bergantung pada suara terbanyak. Boleh jadi suara terbanyak itu karena terpengaruh oleh pesona, citra, materi, uang, atau faktor lain.

Maka, arus kebebasan semacam itu hanya mengukuhkan, memberi kesempatan pada kekuatan modal, terutama kelompok yang berkuasa dalam bentuk materi, atau kekuatan-kekuatan lain. Apakah itu kondisi terbaik untuk Indonesia?

Jika demikian, apakah ada pemikiran untuk menetapkan partai Islam tunggal seperti pada Kongres 1945?

Tidak sampai ke situ. Namun, memang, menjelang Pemilu 2009 dan 2014, ada desakan kuat agar partai-partai Islam dan berbasis massa Islam berkoalisi secara strategis. Idenya tidak sampai pada peleburan, merger, adanya partai Islam tunggal. Hanya menuntut partai-partai Islam dan berbasis massa Islam duduk bersama, bersepakat bersama dalam sebuah koalisi strategis sebagai konsekuensi bagi mereka karena telah mengaitkan dengan Islam, dan menggunakan dasar Islam.

Akan tetapi, tidak tahulah, ya, boleh jadi seperti tahun 1945. Namun, itu sepenuhnya terserah pada partai-partai Islam, mereka pun diundang semuanya untuk ikut berbicara dalam kongres.

Sebenarnya kalau partai-partai Islam berkoalisi, jumlah suaranya sangat signifikan. Pada Pemilu 2014, total suara partai- partai Islam sampai 35 persen. Walaupun itu masih jauh di bawah perolehan Masyumi (sekitar 43 persen), tetapi dengan perolehan suara sebesar itu koalisi partai Islam sudah bisa mengajukan calon presiden-calon wakil presiden sendiri. Saya tidak tahu persis, boleh jadi dalam kongres tersebut ada dukungan itu lagi. Mungkin, dicari pola yang lebih mudah tadi, tanpa mengganggu eksistensi partai-partai tersebut. (Anita Yossihara)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

SYL dan Keluarga Disebut Habiskan Rp 45 Juta Sekali ke Klinik Kecantikan, Uangnya dari Kementan

SYL dan Keluarga Disebut Habiskan Rp 45 Juta Sekali ke Klinik Kecantikan, Uangnya dari Kementan

Nasional
Ketua MPR NIlai Pemilu Kerap Bikin Was-was, Singgung Demokrasi Musyawarah Mufakat

Ketua MPR NIlai Pemilu Kerap Bikin Was-was, Singgung Demokrasi Musyawarah Mufakat

Nasional
Nama SYL Disave dengan Nama “PM” di Ponsel Biduan Nayunda Nabila

Nama SYL Disave dengan Nama “PM” di Ponsel Biduan Nayunda Nabila

Nasional
Baleg Klaim Revisi UU TNI Tak Akan Kembalikan Dwifungsi

Baleg Klaim Revisi UU TNI Tak Akan Kembalikan Dwifungsi

Nasional
Setelah SBY, Bamsoet Bakal Temui Megawati, Jokowi, dan Prabowo

Setelah SBY, Bamsoet Bakal Temui Megawati, Jokowi, dan Prabowo

Nasional
SYL dan Istri Disebut Beli Serum Wajah dari Jepang Pakai Uang Kementan

SYL dan Istri Disebut Beli Serum Wajah dari Jepang Pakai Uang Kementan

Nasional
Biduan Nayunda Nabila Mengaku Beberapa Kali Diajak Makan SYL

Biduan Nayunda Nabila Mengaku Beberapa Kali Diajak Makan SYL

Nasional
Ketua Komisi X Curiga Biaya Makan Siang Gratis Bakal Diambil dari Dana Pendidikan

Ketua Komisi X Curiga Biaya Makan Siang Gratis Bakal Diambil dari Dana Pendidikan

Nasional
Jampidsus Diadukan ke KPK, Kejagung: Silakan tapi yang Benar Jangan Ngawur

Jampidsus Diadukan ke KPK, Kejagung: Silakan tapi yang Benar Jangan Ngawur

Nasional
Dapat Nomor Pedangdut Nayunda Nabila, SYL Langsung Kirim Stiker di WA

Dapat Nomor Pedangdut Nayunda Nabila, SYL Langsung Kirim Stiker di WA

Nasional
Putusan Sela Kasus Hakim Agung Gazalba Dinilai Bentuk Pelemahan KPK

Putusan Sela Kasus Hakim Agung Gazalba Dinilai Bentuk Pelemahan KPK

Nasional
KPK Sita 13 Lahan Milik Terpidana Korupsi Pengadaan Helikopter AW-101

KPK Sita 13 Lahan Milik Terpidana Korupsi Pengadaan Helikopter AW-101

Nasional
Baleg Bantah Kebut Revisi UU Kementerian Negara hingga UU TNI untuk Kepentingan Pemerintahan Prabowo

Baleg Bantah Kebut Revisi UU Kementerian Negara hingga UU TNI untuk Kepentingan Pemerintahan Prabowo

Nasional
Gerindra Siapkan Keponakan Prabowo Maju Pilkada Jakarta

Gerindra Siapkan Keponakan Prabowo Maju Pilkada Jakarta

Nasional
Demokrat Beri 3 Catatan ke Pemerintah Terkait Program Tapera

Demokrat Beri 3 Catatan ke Pemerintah Terkait Program Tapera

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com