KOMPAS.com - Sabtu pagi, 25 Desember 2004, atau 10 tahun lalu, Presiden (waktu itu) Susilo Bambang Yudhoyono dan Ny Ani Yudhoyono tiba di Nabire, Papua. Bersama beberapa menteri kabinetnya, SBY meninjau dan memberikan bantuan kepada penduduk setempat yang beberapa pekan sebelumnya terkena musibah gempa bumi.
Di Nabire, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidur malam di tenda. Hari itu masyarakat yang beragama Kristen merayakan Natal. Pagi harinya, Minggu, 26 Desember 2004, SBY dan Ny Ani terbang ke Jayapura, Papua, untuk merayakan Natal Nasional di tempat itu.
Hari itu juga rombongan Presiden Yudhoyono menerima kabar terjadinya bencana alam dan gelombang tsunami yang menimpa Aceh dan beberapa wilayah di Sumatera.
Minggu malam itu, setelah menghadiri perayaan Natal, SBY menggelar rapat untuk melakukan tindakan menghadapi bencana alam di Aceh tersebut. Dalam rapat itu, SBY memutuskan untuk terbang langsung dari Jayapura (Papua) ke Aceh.
Beberapa pertimbangan mengemuka sebelum diputuskan penerbangan langsung dari Jayapura ke Aceh. Hal yang dipertimbangkan, antara lain, apakah kedatangan rombongan presiden ke tempat musibah besar ini justru akan merepotkan petugas di lapangan atau tidak? Apakah ada tempat pendaratan untuk presiden di Aceh?
Akhirnya, SBY sebagai presiden mengatakan, "Ini keadaan serius dan bisa menjadi krisis nasional, oleh karena itu saya harus segera ke depan."
Senin pagi, 27 Desember 2004, SBY dan Ny Ani terbang ke Aceh dengan singgah di Makassar dan Batam. Senin sore itu, SBY dan Ny Ani mendarat di Lhokseumawe. Saat tiba di bandar udara, Ny Ani menangis dan dipeluk SBY. Malam itu, SBY tidak tidur untuk merencanakan berbagai tindakan untuk mengatasi musibah itu. Selasa, 28 Desember 2004, SBY berkeliling di wilayah musibah, dan kemudian kembali ke Jakarta.
Tsunami di Aceh ini terjadi hampir dua bulan setelah SBY dilantik menjadi presiden dengan wakilnya (Wapres) Jusuf Kalla.
Setelah musibah itu, Indonesia banyak diterpa bencana alam. Sampai-sampai, tokoh masyarakat Betawi yang pernah menjadi anggota DPR pada masa Orde Baru, Ridwan Saidi, menulis buku tentang bencana alam yang dikaitkan dengan SBY.
Sepuluh tahun kemudian, ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan istrinya, Ny Iriana, masih dalam penerbangan dari Korea Selatan ke Jakarta, Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Banjarnegara, Jawa Tengah, dikubur oleh longsoran tanah dari Bukit Telagalele. Banyak orang meninggal dunia, banyak rumah atau tempat tinggal terkubur bersama ternak, kendaraan bermotor, jalan raya (infrastruktur), dan harta benda lainnya.
Derita, nestapa, air mata, dan kegelapan menyelimuti Dusun Jemblung. Indonesia dalam nestapa. Bencana dan musibah ini terjadi ketika Presiden tidak di Jakarta. Mirip walau tidak sama (sedikit beda) dengan peristiwa ketika terjadi tsunami sepuluh tahun lalu. Sekadar iseng bisa dicatat, Sabtu, 27 Desember 2014 nanti, Jokowi juga akan menghadiri perayaan Natal Nasional di Sentani, selatan Jayapura, Papua.
Setelah istirahat dua malam di Jakarta, Jokowi dan Ny Iriana terbang ke Cilacap dan datang ke tempat bencana.
Sebelum terbang ke Cilacap, Jawa Tengah, di Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Minggu (14/12/2014), Jokowi mengatakan, titik rawan tanah longsor bukan hanya satu, dua, tiga, dan empat, tetapi ratusan di Indonesia, terutama di Pulau Jawa. Ini artinya, apabila tidak waspada, akan ada rentetan bencana alam.
Mengapa bencana ini terjadi? Mungkin kita bisa bertanya bukan hanya kepada wakil alam ini, yakni rumput bergoyang. Akan tetapi, kita juga bisa tanya pada kampret-kampret yang terbang bersama ratusan lampion di langit Tugu Monas, Jakarta, Senin malam, 20 Oktober 2014 lalu. (J Osdar)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.