Dalam konteks Indonesia, industri-industri seperti PT Dirgantara Indonesia, PT Pindad, PT PAL Indonesia, PT INKA, PT Perkebunan, PT Biofarma, Lembaga Eijkman, serta lembaga dan PT industri lainnya perlu disatupadukan dengan ristek dan dikti dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia. Dengan demikian, industri bukan sebagai ruang praktikum saja, melainkan menjadi muara akhir karya ristek dan dikti.
Artinya, industri-industri tersebut akan menjadi busur lepas bagi karya-karya mahasiswa, dosen, dan peneliti ke tengah-tengah pasar industri Indonesia maupun dunia (lihat pidato dies UGM, Desember 2013). Dengan demikian, konsep dan kriteria perekrutan dosen akan berubah sehingga dimungkinkan praktisi dapat menjadi dosen di perguruan tinggi ketika mereka memiliki kapasitas membawa riset dan dikti ke tataran praksis berupa produk-produk industri. Melalui trilogi tersebut, Indonesia dibangkitkan menjadi negara ”swa-industri” dan bukannya negara ”pasar industri” bagi produk-produk negara lain.
Dalam paradigma pragmatis atau paradigma tengah ini dinding-dinding perguruan tinggi diruntuhkan sehingga mahasiswa dapat berlari kencang di udara bebas keilmuan. Demikian juga dinding-dinding perseroan industri juga harus dirobohkan untuk dimasuki mahasiswa-mahasiswa yang belajar sekaligus berkarya sehingga tidak ada dikotomi atau separasi antara perguruan tinggi dan lembaga-lembaga industri di luar perguruan tinggi (khususnya industri yang tergabung dalam badan usaha milik negara).
Dalam paradigma ketiga ini, pengertian-konsep-definisi tentang kampus diperluas sampai menyusup ke lembaga-lembaga yang terkait dan berada di luar perguruan tinggi, sehingga Tri Dharma Perguruan Tinggi diubah urutannya menjadi: (1) Pengabdian kepada Masyarakat, melalui (2) Penelitian dan Pengembangan, dan (3) Pendidikan dan Pengajaran.
Tipologi pendidikan tinggi
Kemungkinan keempat yang dapat terjadi adalah apabila keseluruhan kemungkinan tersebut terjadi. Artinya, kemungkinan satu, dua, dan tiga menjadi kenyataan praktik penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia sehingga penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia memiliki tiga tipologi.
Tipologi pertama adalah kelompok perguruan tinggi yang meletakkan riset sebagai tulang punggung sekaligus ujung tombak penyelenggaraan kegiatan pendidikan sehingga struktur dan substansi kurikulumnya memberikan porsi besar kepada kegiatan riset. Untuk itu nomenklatur mata kuliah baru yang berbasis riset perlu menjadi pekerjaan rumah nasional untuk dirumuskan melalui forum konsorsium-konsorsium bidang ilmu. Urutan Tri Dharma Perguruan Tinggi menjadi: (1) Penelitian dan Pengembangan, (2) Pendidikan dan Pengajaran, serta (3) Pengabdian kepada Masyarakat.
Tipologi kedua adalah kelompok perguruan tinggi yang meletakkan pendidikan dan pengajaran sebagai kegiatan utama yang didukung riset dan pengabdian masyarakat. Kelompok perguruan tinggi ini adalah kelompok yang saat ini kita sudah menjalankan kegiatan pendidikan dan pengajaran dengan mapan sejak awal Republik ini berdiri sampai saat di bawah payung institusi Kemdiknas dan Kemdikbud. Urutan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang baku adalah: (1) Pendidikan dan Pengajaran, (2) Penelitian dan Pengembangan, serta (3) Pengabdian kepada Masyarakat.
Tipologi ketiga adalah kelompok perguruan tinggi yang mengembangkan diri menjadi perguruan tinggi yang berorientasi pada industri, sehingga kegiatan pendidikan dan penelitian yang diselenggarakan didesain untuk berujung pada karya-karya industri yang secara nyata dilakukan oleh perseroan-perseroan BUMN seperti disebutkan di atas. Urutan Tri Dharma Perguruan Tinggi menjadi: (1) Pengabdian kepada Masyarakat, (2) Penelitian dan Pengembangan, serta (3) Pendidikan dan Pengajaran.
Ketiga tipologi dapat menjadi tipologi perguruan tinggi nasional dengan tugas khusus yang diberikan oleh negara kepada kelompok-kelompok perguruan tinggi tertentu, atau dapat menjadi tipologi internal di dalam perguruan tinggi dalam bentuk kelompok program studi, jurusan, bagian, atau fakultas. Tentu hal ini akan membawa implikasi dan penyesuaian
pada aspek teknis dan prosedural penyelenggaraan pendidikan tinggi, termasuk persyaratan dan ketentuan angka kredit kenaikan pangkat dan jabatan dosen.
Keuntungan dari berjalannya seluruh tipologi di atas dalam praktik pendidikan tinggi di Indonesia adalah: (1) perkembangan dan pengembangan ilmu yang sampai saat ini sudah berjalan dapat dipelihara, (2) agenda-agenda serta jaringan-jaringan riset yang sudah berkembang sampai saat ini tetap dapat dipelihara dan dikembangkan, dan (3) perubahan ke arah Indonesia menjadi negara ”swasembada industri” dan ”swadaya industri” melalui perubahan penyelenggaraan dan format baru kelembagaan pendidikan tinggi dapat direalisasikan.
Dengan demikian, perubahan bukan sekadar hanya perubahan ”label”, melainkan perubahan ke arah mana Indonesia ini akan menuju melalui pendidikan tingginya. Selamat pagi Indonesia.
Sudaryono
Guru Besar FT-UGM