JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Divisi Penelitian Lembaga Pemantau Media, Remotivi, Muhamad Heychael mengatakan agenda media massa pada masa pemilu cenderung merupakan agenda elit politik.
"Secara umum, media massa, tidak hanya mereka terindikasi partisan,tapi juga gagal menjalankan fungsi publiknya pada Pemilu kemarin. Hal ini ditemukan dari studi Remotivi yang menunjukkan bias kepentingan elit meluas di semua stasiun televisi," kata Heychael dalam keterangannya, beberapa waktu lalu.
Heychael mengatakan tentu saja informasi mengenai koalisi menjelang Pemilu adalah penting bagi publik yang hendak menentukan pilihan. Namun, Heychael menceritakan, ketika pemberitaan koalisi partai politik diberikan porsi yang demikian besar—bahkan di atas isu-isu seperti jaminan sosial, ketenagakerjaan, dan lainnya—maka masyarakat harus bertanya, siapa yang sebenarnya butuh koalisi? Suara siapa yang sebetulnya diwakili media?
Selain itu, lanjut Heychael, kesadaran literasi media masyarakat juga dinilai lemah. Merebaknya fitnah dan berita-berita yang tidak memiliki sumber yang jelas, tidak hanya dimungkinkan oleh pengabaian etika jurnalisme oleh media, melainkan juga karena lemahnya pengetahuan masyarakat mengenai kebenaran informasi, media, dan cara kerja jurnalistik.
"Masyarakat tidak memiliki keterampilan yang memadai untuk menilai mana berita yang kredibel dan mana yang tidak," katanya.
Akibatnya, masyarakat mengandalkan selera politik sebagai ukuran atas informasi yang diterima. Masyarakat mudah terprovokasi oleh berita-berita yang tak berdasar fakta dan sumber yang jelas. Ketika berhadapan dengan informasi, masyarakat lebih mengedepankan selera politik ketimbang validitas informasi yang didapatnya.
"Masyarakat cenderung menuntut apa yang ingin mereka dengar, bukan menuntut apa yang benar. Seolah hanya ada dua macam kebenaran: media Prabowo dan media Jokowi. Bahkan, sekalipun ada media yang menyampaikan kebenaran, masyarakat akan menghakiminya selama isi media bertentangan dengan selera politiknya," terangnya.
Karena itu, lanjut dia, perlu ada upaya untuk membentengi publik dari informasi yang sesat dengan memberikan pendidikan melek media mengenai apa itu berita, apa itu jurnalisme, dan bagaimana menilai kualitas kerja jurnalistik. Disamping itu, Remotivi menilai, politisi juga tidak menghasilkan diskusi publik yang bermutu. Hal ini ditandai oleh pernyataan-pernyataan mereka yang tidak didasari akal sehat dan lebih menekankan emosi.
"Tidak kurang contoh pernyataan seperti yang diungkap Mochtar Ngabalin, yang menyerukan agar pendukung Prabowo-Hatta berdoa untuk mendesak Allah berpihak pada kebenaran. Pernyataan semacam ini menjadikan diskusi publik kita semakin dijejali oleh semacam fanatisme tanpa logika," katanya.
Hal yang sama juga mereka lakukan terhadap media. Politisi dari kedua kubu kerap kali mendeligitimasi berita-berita yang merugikan mereka dengan menyatakan bahwa berita tersebut datang dari media pendukung kubu sebelah.
"Ini jelas pembodohan publik. Politisi seolah sengaja merawat ketidaktahuan publik akan kualitas informasi dan mengeksploitasinya sebagai sarana kampanye," tandasnya.
Lemahnya komitmen kedua calon presiden dan wakil presiden pada filosofi dasar UU Penyiaran juga mempengaruhi sikap media selama pemilu. Heychael mengatakan semangat UU Penyiaran No. 32 tahun 2002 dengan jelas mengatakan bahwa frekuensi adalah milik publik. Konsekuensi logisnya, sebagaimana dijelaskan dalam aturan turunannya, P3-SPS pasal 50 ayat 2, “Lembaga penyiaran wajib bersikap adil dan proporsional terhadap para peserta Pemilihan Umum dan/atau PemilihanUmum Kepala Daerah” dan pasal 3, “Lembaga penyiaran tidak boleh bersikap partisan terhadap salah satu peserta Pemilihan Umum dan/atau Pemilihan Umum Kepala Daerah“.
"Fakta bahwa kedua kubu telah menggunakan media yang menggunakan frekuensi publik seperti televisi sebagai sarana kampanye dan propaganda politiknya membuktikan keduanya tidak memiliki komitmen yang kuat untuk penegakkan UU Penyiaran dan upaya menumbuhkan ruang publik yang demokratis," pungkasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.