Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bertemu KPK, TKI Ungkap Pemerasan hingga Ancaman Ditelanjangi di Bandara

Kompas.com - 06/08/2014, 15:44 WIB
Icha Rastika

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com
 — Mukmainah yang pernah bekerja sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI) di Taiwan mengaku pernah diperas petugas ketika pulang ke Indonesia melalui Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, sekitar 2011-2012. Menurut Mukmainah, oknum yang memerasnya berasal dari kepolisian dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).

Mukmainah juga menceritakan ada temannya yang dipaksa untuk menukar mata uang asing di tempat penukaran uang tertentu. Temannya itu diancam akan ditelanjangi jika menolak untuk menukarkan uang dari negara tempat bekerja dengan rupiah.

"Di terminal itu ada yang dipaksain tukar mata uang asing dengan cara paksa, bahkan ada yang sampai mau ditelanjangi segala. Iya, suruh dibuka baju semuanya, sampai dibawa ke kamar mandi disuruh ikut, cari duit mata uang asing itu," tutur Mukmainah di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Rabu (6/8/2014).

Dia datang bersama dengan Migrant Care untuk berdiskusi dengan pihak KPK terkait masalah TKI. Hasil kajian KPK pada 2006 menemukan bahwa di Terminal III Bandara Soekarno-Hatta (terminal khusus TKI hingga tahun 2007) ada kelemahan yang berpotensi menjadi sasaran tindak pidana korupsi.

Contohnya, kurs valas dari market rate di money changer yang rendah dan merugikan TKI, mahalnya tarif angkutan darat yang disediakan Kemenakertrans, tidak jelasnya waktu tunggu sejak membeli tiket sampai dengan berangkat, hingga banyaknya praktik pemerasan, penipuan, dan berbagai perlakuan buruk lainnya.

Selain itu, KPK menemukan indikasi keterlibatan aparat bersama-sama dengan oknum BNP2TKI, portir, petugas cleaning service, dan petugas bandara dalam mengarahkan TKI kepada calo atau preman untuk proses kepulangan.

Para TKI tersebut diduga dipaksa untuk menggunakan jasa money changer dengan nilai yang lebih rendah.

Mukmainah juga mengaku pernah dimintai uang ketika diantar pulang ke rumah dengan menumpang bus.

"Sekitar satu kilometer yang kira-kira mau turun itu disuruh bayar ke sopir. Kami kasih Rp 100.000, mereka tidak terima, mereka mintanya lebih," tuturnya.

Ketika itu, Mukmainah terpaksa membayar lebih untuk jasa sopir seperti yang diminta. Dia juga mengaku dipaksa untuk membayar uang jasa pengantaran sampai daerah asalnya sesuai dengan paspor. Padahal, Mukmainah yang asli Tegal itu ingin pulang ke rumah saudaranya di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

"Tapi, enggak boleh, harus sesuai dengan paspor, tapi kita tetap bayar trayeknya ke Jawa, Rp 500.000 biayanya," ucapnya.

Pengalaman lainnya disampaikan Siti Badriyah yang pernah bekerja di Brunei. Pada 2004, Badriyah pulang ke Indonesia melalui terminal khusus TKI di Terminal III. Awalnya, Badriyah dan kawan-kawan dikumpukan di Terminal II.

Mereka kemudian diminta petugas untuk naik bus menuju Terminal III. Perjalanan dari Terminal II menuju Terminal III Bandara Soekarno-Hatta itu pun tidak gratis.

"Sewaktu naik bus, barang-barang kita itu dibawa sama portir, dimasukin ke bus, itu kita harus bayar. Kemudian, kita naik bus dari Terminal II ke Terminal III harus bayar untuk sopirnya. Kemudian turunin barang harus bayar lagi. Barangnya disatuin di satu tempat untuk ngambil bayar lagi," tuturnya.

Untuk ke luar bandara dan makan serta minum tersebut, Badriyah mengaku telah mengeluarkan uang sekitar Rp 200.000.

"Ada yang sampai ambil barang saja di kargo disuruh bayar Rp 850.000," tambahnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pakar Hukum Sebut Kecil Kemungkinan Gugatan PDI-P ke KPU Dikabulkan PTUN

Pakar Hukum Sebut Kecil Kemungkinan Gugatan PDI-P ke KPU Dikabulkan PTUN

Nasional
Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Gratifikasi Rp 650 Juta Bersama Pengacara

Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Gratifikasi Rp 650 Juta Bersama Pengacara

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang 'Toxic', Pengamat: Siapa Pun yang Jadi Benalu Presiden

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang "Toxic", Pengamat: Siapa Pun yang Jadi Benalu Presiden

Nasional
Syarat Usia Masuk TK, SD, SMP, dan SMA di PPDB 2024

Syarat Usia Masuk TK, SD, SMP, dan SMA di PPDB 2024

Nasional
Jokowi Sebut Semua Negara Takuti 3 Hal, Salah Satunya Harga Minyak

Jokowi Sebut Semua Negara Takuti 3 Hal, Salah Satunya Harga Minyak

Nasional
Demokrat Anggap SBY dan Jokowi Dukung “Presidential Club”, tetapi Megawati Butuh Pendekatan

Demokrat Anggap SBY dan Jokowi Dukung “Presidential Club”, tetapi Megawati Butuh Pendekatan

Nasional
Demokrat Bilang SBY Sambut Baik Ide “Presidential Club” Prabowo

Demokrat Bilang SBY Sambut Baik Ide “Presidential Club” Prabowo

Nasional
Jokowi Kembali Ingatkan agar Anggaran Tidak Habis Dipakai Rapat dan Studi Banding

Jokowi Kembali Ingatkan agar Anggaran Tidak Habis Dipakai Rapat dan Studi Banding

Nasional
Jaksa Ungkap Ayah Gus Muhdlor Hubungkan Terdakwa dengan Hakim Agung Gazalba lewat Pengacara

Jaksa Ungkap Ayah Gus Muhdlor Hubungkan Terdakwa dengan Hakim Agung Gazalba lewat Pengacara

Nasional
Disebut PAN Calon Menteri Prabowo, Eko Patrio Miliki Harta Kekayaan Rp 131 Miliar

Disebut PAN Calon Menteri Prabowo, Eko Patrio Miliki Harta Kekayaan Rp 131 Miliar

Nasional
Termohon Salah Baca Jawaban Perkara, Hakim MK: Kemarin Kalah Badminton Ada Pengaruhnya

Termohon Salah Baca Jawaban Perkara, Hakim MK: Kemarin Kalah Badminton Ada Pengaruhnya

Nasional
Suhu Udara Panas, BMKG: Indonesia Tak Terdampak 'Heatwave'

Suhu Udara Panas, BMKG: Indonesia Tak Terdampak "Heatwave"

Nasional
Jumlah Dokter Spesialis Indonesia Kecil Dibanding Negara ASEAN, Jokowi: Masuk 3 Besar, tapi dari Bawah

Jumlah Dokter Spesialis Indonesia Kecil Dibanding Negara ASEAN, Jokowi: Masuk 3 Besar, tapi dari Bawah

Nasional
Jokowi Sebut Minimnya Dokter Spesialis Kerap Jadi Keluhan Warga

Jokowi Sebut Minimnya Dokter Spesialis Kerap Jadi Keluhan Warga

Nasional
Bappenas Integrasikan Rencana Pemerintah dengan Program Kerja Prabowo

Bappenas Integrasikan Rencana Pemerintah dengan Program Kerja Prabowo

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com