Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Politik Kita dan Revolusi Perancis

Kompas.com - 07/07/2014, 15:40 WIB

Oleh: Fachry Ali

KOMPAS.com - Ema Indriana, murid kelas II MAN 9, Duren Sawit, Jakarta Timur, bercerita tentang sejarah Revolusi Perancis 1789 dan kemunculan Napoleon Bonaparte yang menyatakan diri kaisar pada 1804.

Ia mengaitkan peristiwa abad ke-18 itu dengan konteks regional, global, dan nasional: pemilihan presiden dewasa ini. Saya tertegun. Bukankah efek revolusi itu secara tak langsung berpotensi mempertajam perspektif melihat aspek struktur yang sama dalam politik-ekonomi menjelang dan pasca-pilpres di sini?

Revolusi Perancis adalah produk diskrepansi struktural, ketika kekuasaan ancien règime (pemerintahan kuno) yang terpecah dan terbagi di tangan raja, bangsawan penguasa lokal, pemuka agama, dan aktor ekonomi gagal menampung dan menyalurkan energi ekonomi, politik, dan sosial-budaya kekuatan masyarakat (petani dan kaum borjuasi kota) ke dalam industrialisasi.

Di tingkat perdesaan, meski skala ekonominya setara dengan wol, komoditas andalan Inggris untuk industrialisasi, minuman anggur Perancis pada abad ke-18, tidak mendorong proses produksi bersifat mekanis. Aktivitas pemikir terkenal Perancis, Montesqiue, sebagai pelobi anggur tidak berpengaruh. Yang berlaku sebaliknya: penurunan pajak masuk barang olahan Inggris pada 1786 dan penghapusan hambatan perdagangan gandum pada 1787. Semua ini kian menghambat industrialisasi Perancis.

Luputnya Perancis dari industrialisasi berdasarkan sumber daya pertanian ini justru memperkukuh energi antagonistis perdesaan. Dasarnya adalah karena itu berarti mengawetkan sistem hubungan feodalisme yang menindas petani. Praktik yang telah berlangsung ratusan tahun ini memperbesar benih kebencian terhadap ancien règime di kawasan perdesaan.

Hal yang sebetulnya mirip terjadi di wilayah perkotaan. Untuk memperoleh dukungan finansial, negara mempraktikkan penjualan jabatan pemerintah kepada pihak swasta, kaum borjuasi. Secara otomatis praktik yang terdeteksi sejak abad ke-17 ini menghamburkan sumber daya finansial yang mestinya diinvestasikan di sektor komersial dan industri.

"Blokade" struktural ke arah industrialisasi ini mematangkan kesadaran politik wilayah perkotaan melalui jalan tak langsung. Penjualan jabatan pemerintah adalah politik status quo. Dalam arti, melalui itu kaum borjuasi terintegrasi ke dalam struktur kehidupan kebangsawanan.

Namun, justru oleh itu terjadi infiltrasi elemen reformis ke sistem monarki. Melalui Barrington Moore diperoleh keterangan bahwa di bawah Louis XVI jabatan pemerintah telah jadi pusat utama rekrutmen nirbangsawan ke dalam pemerintahan. Dari 943 parlementaires yang direkrut sepanjang 1774-1789 dan bertahan hingga 1790, sebanyak 394 (42 persen) bekas roturiers (orang biasa) yang jadi bangsawan karena posisi baru mereka.

Ini berarti, elemen revolusioner telah bersarang dalam jantung ancien règime. Energi sosial-ekonomi petani yang tersumbat sistem feodalisme selama ratusan tahun, ketidakjelasan ekonomi kaum borjuasi perkotaan, dan kegelisahan kaum bangsawan tiban (tiba-tiba) di dalam negara, terkonsolidasi ke dalam bentuk perlawanan frontal dan meledak dalam bentuk revolusi.

Hasil nyata Revolusi Perancis adalah, dalam sebutan Marx, hancurnya sampah abad pertengahan tatanan kekuasaan lama, yaitu lembaga dan aktor dominan prarevolusi dan tampilnya peran pemilik tanah menengah dan kecil di perdesaan bersama dengan menu peuple ’gabungan massa kecil’ dan sans colletes ’pedagang kecil beraspirasi terlaksananya sistem ekonomi pasar’ perkotaan, kaum borjuasi profesional, dan cendekiawan secara dominan.

Apa relevansinya dengan Indonesia? Dalam "Surviving the Meltdown: Liberal Reform and Political Oligarchy in Indonesia", dimuat dalam Politics and Market in the Wake of Asia Crisis (2000), Richard Robison dan Andrew Rosser menyatakan bahwa Reformasi 1998 yang menjatuhkan kekuasaan Orde Baru (1967-1998) adalah refleksi kegagalan negara menyesuaikan diri ke dalam sistem pasar liberal sebab sistem pasar liberal bukan hanya mekanisme mencapai rasionalisme alokasi sumber daya saja, juga alat membangun dan mengalokasikan kekuasaan.

Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi yang tinggi selama hampir tiga dekade pembangunan Orde Baru adalah isyarat peralihan orientasi ekonomi ke dalam sistem pasar liberal. Peralihan yang sempurna ini luput terjadi karena itu berarti merombak kekuasaan dan hak-hak istimewa oligarki Orde Baru.

Revolusi ala Indonesia

Dilihat dari konteks ini, Reformasi 1998 mirip dengan Revolusi Perancis hampir 200 tahun lalu itu. Jika yang terakhir ini gagal melakukan industrialisasi ketika syaratnya telah terpenuhi, rezim Orde Baru enggan melangkah ke arah pasar bebas karena mengganggu kepentingan kekuatan ekonomi-politik yang telah lama bercokol. Dalam beberapa hal hasil Reformasi 1988 juga mirip dengan Revolusi Perancis: munculnya kaum borjuasi kota secara dominan dalam panggung politik nasional.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Nasional
Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Nasional
Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Nasional
Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin:  Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin: Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Nasional
Anggap Positif “Presidential Club” yang Ingin Dibentuk Prabowo, Cak Imin: Pemerintah Bisa Lebih Produktif

Anggap Positif “Presidential Club” yang Ingin Dibentuk Prabowo, Cak Imin: Pemerintah Bisa Lebih Produktif

Nasional
Jokowi Gowes Sepeda Kayu di CFD Jakarta, Warga Kaget dan Minta 'Selfie'

Jokowi Gowes Sepeda Kayu di CFD Jakarta, Warga Kaget dan Minta "Selfie"

Nasional
Ketidakharmonisan Hubungan Presiden Terdahulu jadi Tantangan Prabowo Wujudkan 'Presidential Club'

Ketidakharmonisan Hubungan Presiden Terdahulu jadi Tantangan Prabowo Wujudkan "Presidential Club"

Nasional
Bela Jokowi, Projo: PDI-P Baperan Ketika Kalah, Cerminan Ketidakdewasaan Berpolitik

Bela Jokowi, Projo: PDI-P Baperan Ketika Kalah, Cerminan Ketidakdewasaan Berpolitik

Nasional
Cek Lokasi Lahan Relokasi Pengungsi Gunung Ruang, AHY: Mau Pastikan Statusnya 'Clean and Clear'

Cek Lokasi Lahan Relokasi Pengungsi Gunung Ruang, AHY: Mau Pastikan Statusnya "Clean and Clear"

Nasional
Di Forum Literasi Demokrasi, Kemenkominfo Ajak Generasi Muda untuk Kolaborasi demi Majukan Tanah Papua

Di Forum Literasi Demokrasi, Kemenkominfo Ajak Generasi Muda untuk Kolaborasi demi Majukan Tanah Papua

Nasional
Pengamat Anggap Sulit Persatukan Megawati dengan SBY dan Jokowi meski Ada 'Presidential Club'

Pengamat Anggap Sulit Persatukan Megawati dengan SBY dan Jokowi meski Ada "Presidential Club"

Nasional
Budi Pekerti, Pintu Masuk Pembenahan Etika Berbangsa

Budi Pekerti, Pintu Masuk Pembenahan Etika Berbangsa

Nasional
“Presidential Club”, Upaya Prabowo Damaikan Megawati dengan SBY dan Jokowi

“Presidential Club”, Upaya Prabowo Damaikan Megawati dengan SBY dan Jokowi

Nasional
Soal Orang 'Toxic' Jangan Masuk Pemerintahan Prabowo, Jubir Luhut: Untuk Pihak yang Hambat Program Kabinet

Soal Orang "Toxic" Jangan Masuk Pemerintahan Prabowo, Jubir Luhut: Untuk Pihak yang Hambat Program Kabinet

Nasional
Cak Imin Harap Pilkada 2024 Objektif, Tak Ada “Abuse of Power”

Cak Imin Harap Pilkada 2024 Objektif, Tak Ada “Abuse of Power”

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com