Pragmatisme politik yang telah diketahui seperti itu akhirnya harus dipahami sebagai bentuk politik yang tidak sehat dan tidak mendidik masyarakat pemilih. Oleh sebab itu, sudah seharusnya politik uang tidak dikerjakan pada pemilu-pemilu berikutnya.
Pemilih tidak peduli dengan janji-janji yang dikampanyekan. Masyarakat pemilih hanya akan menerima apa yang diberikan, tetapi tidak dengan ”janji yang diberikan”. Masyarakat marah kepada para calon anggota Dewan yang datangnya lima tahun sekali pada masa kampanye dengan menawarkan berbagai janji politik, tetapi setelah terpilih menghilang dari masyarakat.
Kita menyaksikan betapa banyak calon anggota Dewan wajah lama terpental di Pileg 2014. Pada hemat saya, salah satu sebabnya pada Pemilu 2009 mereka telah berkampanye dan berjanji akan melakukan ini dan itu, tetapi setelah menjadi anggota legislatif, yang dijanjikan tak terealisasi.
Memperhatikan maraknya praktik politik uang, yang harus direnungkan adalah bahwa pemilih tidak bodoh. Pemilih itu memiliki pemahaman sendiri tentang politik uang, tentang politik, bahkan memiliki kesadaran tersendiri berhadapan dengan para politisi yang sering rabun ayam, berpikir dan berbuat instan, serta mempraktikkan politik tanpa etika. Di sinilah pelajaran penting sebelum Pilpres 9 Juli nanti. Perlu dipikirkan saksama, politik uang sejatinya tidak akan membuat pemilih mudah menggelincirkan pikirannya pada seseorang dalam sekejap.
Zuly Qodir
Sosiolog Fisipol UMY