Pertanyaannya berikut, siapa lalu yang mampu mengelola republik ini di bawah panji-panji nasionalisme? Beberapa nama sudah berseliweran. Rakyat pun sudah kenyang dihujani berbagai janji. Persoalannya, janji adalah ujaran yang tak bersandar pada kekinian. Janji melulu soal masa depan.
Siapa pun bisa berjanji di tahun politik ini. Namun, kita harus awas membedakan antara janji dan komitmen. Janji tak bersandar pada rekam jejak, sementara komitmen justru sebaliknya. Seorang mantan koruptor bisa saja berjanji untuk memberantas korupsi. Namun, dia tidak bisa berkomitmen terhadap janjinya sebab rekam jejak berkata lain.
Nasionalisme membutuhkan rekam jejak yang gamblang. Komitmen seorang terhadap nasionalisme diuji pada saat-saat kritis. Saat, misalnya, kepala daerah menghadapi pilihan yang sulit: memberikan izin kepada waralaba asing atau merehabilitasi pasar tradisional. Keduanya berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun, yang pertama berpihak pada konsumerisme kelas menengah, sementara yang kedua pada lapangan pekerjaan bagi para pelaku usaha kecil.
Rekam jejak menyimpan integritas. Integritas adalah konsistensi dan ketahanan etis. Nasionalisme membutuhkan konsistensi. Seorang pemimpin tidak bisa sesekali memperhatikan kepentingan nasional, tetapi di lain waktu meloloskan protokol internasional yang mengancam kepentingan nasional. Dia juga tidak bisa meneken undang-undang jaminan sosial nasional, tetapi mengulur-ulur terbitnya peraturan turunan akibat lobi perusahaan asuransi asing.
Nasionalisme juga membutuhkan keberanian. Keberanian bukan sesuatu yang sekadar diteriakkan di atas podium. Pemimpin harus berani menegosiasi ulang semua kontrak karya yang merugikan republik. Semua pinjaman luar negeri dengan bunga yang tidak masuk akal harus berani ditolak. Segenap hibah dengan syarat-syarat tertentu yang di kemudian hari merugikan juga harus ditolak.
Nasionalisasi perusahaan asing juga bukan sesuatu yang tabu dilakukan. Saat-saat kritis menuntut langkah-langkah dramatis. Pemimpin kita nanti jangan kalah dengan seorang perempuan Argentina bernama Cristina Fernandez. Cristina berani menasionalisasi perusahaan Spanyol demi kepentingan rakyatnya.
Seorang presiden bisa datang dari beragam latar belakang, mulai dari pengusaha, akademisi, sampai militer. Namun, nasionalisme tidak mengenal latar belakang. Seorang akademisi bisa saja lebih nasionalis ketimbang mantan petinggi militer. Profesi tidak sebangun dengan konsistensi terhadap ideologi. Konsistensi tersebut ditempa oleh pengalaman politik yang lama dan penuh dinamika.
Oleh sebab itu, siapa pun dia haruslah seorang politisi. Politisi bukan dia yang piawai merebut kekuasaan, tetapi cakap memanfaatkan kekuasaan bagi kepentingan bangsa dan negaranya. Dia yang memakai kekuasaan untuk mendapatkan komisi dari lembaga-lembaga keuangan asing jelas bukan politisi.
Apa pun, tahun ini kita akan mendapatkan presiden baru. Sekilas, semua kandidat sepertinya berpegang pada nasionalisme. Mereka tampil layaknya pembela terdepan kepentingan bangsa dan negaranya. Namun, nasionalisme tidak bisa ditemukan pada kesan-kesan yang dibangun iklan. Nasionalisme, sekali lagi, tersimpan dalam rekam jejak, konsistensi, dan keberanian. Semoga kita memperoleh pemimpin sedemikian.
Donny Gahral Adian, Konsultan Politik di Hendropriyono and Associates Strategic Consulting
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.