JAKARTA, KOMPAS.com - Jumlah tempat pemungutan suara (TPS) yang mengalami surat suara tertukar dan harus menggelar pemungutan suara ulang terus bertambah. Setidaknya 759 TPS harus melakukan pencoblosan ulang.
"Jumlahnya bertambah, yang baru masuk dari Papua," ujar Kepala Bagian Inventaris Prasarana dan Logistik Pemilu Komisi Pemilihan Umum (KPU) Susila Heri Prabawa, di Gedung KPU, Jakarta Pusat, Senin (14/4/2014).
Berdasarkan data yang dimiliki KPU, jumlah TPS yang surat suaranya tertukar mencapai 759 TPS dan tersebar di 105 kabupaten/kota pada 29 provinsi. Angka tersebut bertambah dari laporan Minggu (13/4/2014), yang baru mencapai 649 TPS di 23 provinsi.
Susila mengatakan, KPU mengimbau agar pencoblosan ulang digelar paling lambat pada Selasa (15/4/2014) besok. "Ada yang sudah pemungutan suara ulang dan sebagian hari Minggu (13/4)," ujarnya. Atas kasus tersebut, ia mengakui bahwa KPU lalai dalam melakukan penyortiran surat suara saat distribusi dilakukan.
Sementara itu, Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat mengeluarkan hasil evaluasi sementara terhadap pemilu legislatif. Mereka memantau 1.005 tempat pemungutan suara di 25 provinsi melalui gerakan relawan. Evaluasi sementara ini menunjukkan kekacauan dalam manajemen logistik pemilu.
Menurut Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) M Afifuddin, manajemen logistik berhubungan langsung dengan para pemilih. ”Distribusi logistik yang terlambat atau tertukar membuat semua jadi berantakan," kata Afif sebagaimana dikutip Kompas Siang, Senin.
Menurut Afif, hal itu merupakan akibat dari ketidakberesan perencanaan pemilu. Dari segi daftar pemilih tetap (DPT) masih banyak pemilih yang tidak terdaftar atau terdaftar ganda. Contohnya, orang yang sudah meninggal masih mendapatkan formulir C6 (surat undangan) atau seorang pemilih mendapatkan dua lembar C6.
Akibatnya, kata dia, seorang pemilih, apabila tidak bertanggung jawab, bisa mencoblos dua kali. Sistem komputer yang dimiliki Komisi Pemilihan Umum tidak mampu mendeteksi permasalahan seperti ini karena hanya memunculkan data agregat kependudukan.
Menurut pantauan JPPR, ada 281 TPS yang tidak menempelkan data DPT. Hal ini menyalahi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang pelaksanaan pemilu. Tidak adanya DPT memunculkan risiko terjadi manipulasi suara karena penyelenggara pemilu setempat tidak mengetahui jumlah pemilih yang datang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.