Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 08/11/2013, 17:04 WIB

Oleh: Adi Andojo Soetjipto

Pagi tanggal 4 November 2013 saya baca di harian Kompas tulisan yang berjudul ”Benteng Terakhir Itu Mulai Retak dan Goyah”.

Di dalamnya tertulis ”’Saat disampaikan, Bapak (Andi Ayyub) mengatakan akan dilihat dulu berkasnya. Bapak juga minta fee dinaikkan menjadi Rp 250 juta,’ katanya. Terakhir, kata Suprapto, Andi Ayyub minta fee dinaikkan lagi menjadi Rp 300 juta.”

Berita yang ditulis di harian Kompas tersebut, yang mengutip keterangan Suprapto ketika memberi kesaksian di depan sidang pengadilan tindak pidana korupsi, pasti akan dibantah Hakim Agung Andi Ayyub sebagai berita yang tidak benar.

Memang sekarang zamannya bantah-membantah. Namun, betapa sengitnya orang membantah, kalau namanya sudah disebut lewat media secara luas bahwa yang bersangkutan mau ditawari fee sampai ratusan juta rupiah, hal tersebut mau tak mau akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat akan penegakan keadilan di negeri ini.

Apa langkah selanjutnya yang akan ditempuh unsur pimpinan Mahkamah Agung (MA)? Memanggil yang bersangkutan untuk diperiksa di depan Majelis Kehormatan tentang hakim agung yang bersangkutan sudah melanggar kode etik? Itu cara yang menurut saya, berdasarkan norma yang ada, terlalu lunak dan tidak akan membuat jera.

Saya dulu pernah punya gagasan yang sempat saya sampaikan kepada Pak Ali Said selaku Ketua MA saat itu, yakni agar hakim agung yang sampai di-”isu”-kan (baru isu!) berbuat menjual perkara supaya langsung dipecat saja tanpa ampun. Menurut saya, hakim agung harus betul-betul bebas dari segala isu negatif: harus suci-bersih dari segala bentuk perbuatan kotor.

Akan tetapi, apa kata Pak Ali Said? Katanya (dalam bahasa Belanda), ”Dan ben jij als pimpinan niet waard!” (Kalau begitu, kamu tidak pantas jadi pimpinan).

Baiklah, memang saya tidak pernah sampai pada kedudukan itu. Namun, bagi saya itu tidak menjadi masalah karena yang penting dalam mengemban tugas sebagai hakim agung: kejujuran merupakan prinsip di atas segalanya. Namun, seandainya saya jadi pemimpin, gagasan saya itu pasti akan saya laksanakan demi tegaknya hukum dan keadilan.

Lihat saja kondisi sekarang: sangat menyedihkan! Banyak ketentuan UU yang dijungkirbalikkan. Bukan untuk rasa keadilan, melainkan untuk sebaliknya: demi untuk ”aku dan saku”.

Contohnya, menurut KUHAP, yang dapat mengajukan peninjauan kembali (PK) hanyalah terpidana atau ahli warisnya. Sekarang ahli waris itu diartikan dalam arti hukum perdata. Kalau zaman saya dulu, kasasi tak boleh mengubah hukuman (pidana yang dijatuhkan). Sekarang hukuman di tingkat kasasi dapat ditambah sampai berlipat-lipat. Sayang seandainya menaikkan pidana dalam tingkat kasasi hanya untuk menaikkan popularitas hakim yang menanganinya.

Ada satu hal lagi yang tak boleh dilakukan zaman saya dulu, yaitu hasil musyawarah majelis hakim yang bersifat rahasia. Sekarang bahkan ada surat edaran MA yang membolehkan hasil musyawarah diumumkan sehingga yang berpendapat beda (dissenting opinion) terangkat popularitasnya.

Menurut saya, pelan tapi pasti, MA harus diperbaiki. Saya kurang paham mengenai UU tentang Komisi Yudisial. Namun, timbul pertanyaan di hati kecil saya, sudah tepatkah KY mempunyai wewenang mengawasi MA atau hakim-hakim? Bukankah pihak eksekutif tidak boleh mengintervensi pihak yudikatif?

Menurut saya, KY adalah badan eksekutif. Wewenang KY hanya mengawasi pelaksanaan eksekusi putusan hakim, seperti wewenang yang dimiliki hakim pengawas dan pengamat menurut KUHAP. Jadi, hakim sendirilah yang mengawasi hakim tanpa ada intervensi dari pihak eksekutif. Saya tidak bermaksud untuk mengkritik, tetapi menginginkan suatu penjelasan yang proporsional.


Adi Andojo Soetjipto, Mantan Ketua Muda MA

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 5 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 5 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Jemaah Haji Diimbau Tidak Umrah Sunah Berlebihan, Masih Ada Puncak Haji

Jemaah Haji Diimbau Tidak Umrah Sunah Berlebihan, Masih Ada Puncak Haji

Nasional
Polisi Arab Saudi Tangkap 37 WNI Pakai Visa Ziarah untuk Berhaji di Madinah

Polisi Arab Saudi Tangkap 37 WNI Pakai Visa Ziarah untuk Berhaji di Madinah

Nasional
Temani Jokowi Peringati Hari Pancasila, AHY: Jangan Hanya Peringati, tapi Dijiwai

Temani Jokowi Peringati Hari Pancasila, AHY: Jangan Hanya Peringati, tapi Dijiwai

Nasional
Tak Persoalkan Anies dan Sudirman Said Ingin Maju Pilkada Jakarta, Refly Harun: Kompetisinya Sehat

Tak Persoalkan Anies dan Sudirman Said Ingin Maju Pilkada Jakarta, Refly Harun: Kompetisinya Sehat

Nasional
Peringati Hari Lahir Pancasila, AHY: Pancasila Harus Diterapkan dalam Kehidupan Bernegara

Peringati Hari Lahir Pancasila, AHY: Pancasila Harus Diterapkan dalam Kehidupan Bernegara

Nasional
Prabowo Sebut Diperintah Jokowi untuk Bantu Evakuasi Warga Gaza

Prabowo Sebut Diperintah Jokowi untuk Bantu Evakuasi Warga Gaza

Nasional
Simpul Relawan Dorong Anies Baswedan Maju Pilkada Jakarta 2024

Simpul Relawan Dorong Anies Baswedan Maju Pilkada Jakarta 2024

Nasional
Pemerintah Klaim Dewan Media Sosial Bisa Jadi Forum Literasi Digital

Pemerintah Klaim Dewan Media Sosial Bisa Jadi Forum Literasi Digital

Nasional
Prabowo Kembali Serukan Gencatan Senjata untuk Selesaikan Konflik di Gaza

Prabowo Kembali Serukan Gencatan Senjata untuk Selesaikan Konflik di Gaza

Nasional
Kloter Terakhir Jemaah Haji Indonesia di Madinah Berangkat ke Mekkah

Kloter Terakhir Jemaah Haji Indonesia di Madinah Berangkat ke Mekkah

Nasional
PKB Beri Rekomendasi Willem Wandik Maju Pilkada Papua Tengah

PKB Beri Rekomendasi Willem Wandik Maju Pilkada Papua Tengah

Nasional
Mengenal Tim Gugus Tugas Sinkronisasi Prabowo-Gibran, Diisi Petinggi Gerindra

Mengenal Tim Gugus Tugas Sinkronisasi Prabowo-Gibran, Diisi Petinggi Gerindra

Nasional
Sebut Serangan ke Rafah Tragis, Prabowo Serukan Investigasi

Sebut Serangan ke Rafah Tragis, Prabowo Serukan Investigasi

Nasional
Refly Harun Sebut Putusan MA Sontoloyo, Tak Sesuai UU

Refly Harun Sebut Putusan MA Sontoloyo, Tak Sesuai UU

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com