Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tarik Ulur RUU Pilpres Cuma soal Aturan "Nyapres"!

Kompas.com - 09/07/2013, 10:25 WIB
Sabrina Asril

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com - Pembahasan perubahan atas Undang-undang nomor 42 tahun 2008 tentang pemilihan presiden mentok. Padahal, pemilu tinggal satu tahun lagi. Sembilan fraksi di DPR masih keukeuh pada pandangannya masing-masing.

Substansi pembahasan pun berputar pada topik itu-itu saja, yaitu perlu tidaknya undang-undang itu direvisi. Setidaknya, ada lima fraksi yang menolak UU Pilpres direvisi yaituFraksi Partai Demokrat, Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Amanat Nasional, dan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa. Sementara, empat fraksi lainnya mendukung revisi UU Pilpres yakni Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Fraksi Partai Gerindra, dan Fraksi Partai Hanura.

Apa yang membuat pembahasan revisi UU Pilpres ini berjalan alot?

Tak lain adalah persoalan presidential threshold (PT). Aturan ini terkait ambang batas partai boleh mengajukan pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres).

Pasal 9 UU Pilpres menyebutkan bahwa pasangan capres dan cawapres bisa diusung partai politik atau gabungan partai politik dengan jumlah kursi di parlemen minimal 20 persen dan jumlah suara secara nasional minimal 25 persen. Hal ini jelas menghambat partai-partai kecil yang hendak mengajukan capres. Sebut saja Partai Gerindra yang sudah jauh hari mengusung Prabowo Subianto sebagai capresnya. Demikian pula Partai Hanura yang sudah deklarasi akan mengusung Wiranto.

KOMPAS IMAGES/RODERICK ADRIAN MOZES Angota Komisi III DPR dari Fraksi Hanura, Syarifuddin Suding, saat memasukkan kertas pemilihan ke dalam kotak suara dalam proses seleksi calon ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Komisi III DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (2/12/2011).
"Tidak ada dasar hukum adanya pasal soal PT itu, karena di dalam UUD 45 sangat jelas ditulis capres dan cawapres adalah pasangan yang diusung oleh partai atau gabungan partai politik. Tidak ada ambang batasnya," kata Ketua Fraksi Partai Hanura Syarifuddin Sudding, beberapa waktu lalu.

Sementara, PPP berkeinginan agar PT dijadikan 0 persen, atau hilang sama sekali. "Kalau sampai ada PT, namanya membatasi capres-capres yang ada saat ini. Kami ingin ada banyak pilihan. PPP tetap berkeinginan PT 0 persen," ujar Wakil Ketua Fraksi PPP, Ahmad Yani.

Sedangkan PKS tidak membicarakan persoalan PT. Anggota Baleg dari Fraksi PKS, Indra mengatakan, banyak hal yang harus direvisi dari Undang-undang itu yakni pelarangan presiden rangkap jabatan, pembatasan biaya kampanye, pengaturan/pembatasan iklan supaya tidak ada koptasi pencitraan semu melalui iklan yang akan menyesatkan pemilih, dan perubahan syarat pencapresan. 

Satu pasal yang mengganjal

Anggota Baleg dari Fraksi Partai Gerindra Martin Hutabarat, mengatakan, dalam waktu hampir 1,5 tahun pembahasan di Badan Legislasi DPR, telah disepakati 120 Pasal perubahan dan 22 Pasal tambahan dari 262 Pasal UU Pilpres.

Kompas.com/SABRINA ASRIL Politisi Partai Gerindra, Martin Hutabarat.
"Hanya satu Pasal yang belum disepakati yakni mengenai angka PT pengajuan pasangan capres," katanya.

Alotnya pembahasan revisi UU Pilpres membuat Pimpinan Baleg memutuskan untuk melakukan konsultasi dengan Pimpinan DPR. Hasilnya setali tiga uang, tak menemukan jalan keluar.

Pimpinan DPR akhirnya mengembalikan lagi pembahasan revisi UU Pilpires ke Baleg. Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani mengatakan, pembahasan ini sudah berlarut-larut sehingga salah satu opsinya adalah dengan voting di rapat paripurna.

"Tentukan saja di paripurna apakah mau lanjut atau tidak, daripada enggak jelas begini," kata Muzani.

Jika dilakukan voting, maka revisi UU Pilpres bisa dipastikan batal. Pasalnya, kelompok penolak revisi berasal dari partai-partai besar.

Sebagian besar partai berdalih jika UU Pilpres direvisi maka Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak memiliki cukup waktu. Alasan lainnya adalah adanya keinginan untuk memperkuat sistem presidensial. Rencananya, Baleg akan kembali menggelar rapat pleno untuk pengambilan keputusan pada Selasa (8/7/2013) sore ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Pastikan Takaran LPG Sesuai, Pertamina Lakukan Sidak di Beberapa Tempat

    Pastikan Takaran LPG Sesuai, Pertamina Lakukan Sidak di Beberapa Tempat

    Nasional
    Putusan Adam Deni di Kasus Pencemaran Ahmad Sahroni Ditunda Pekan Depan

    Putusan Adam Deni di Kasus Pencemaran Ahmad Sahroni Ditunda Pekan Depan

    Nasional
    Revisi UU Polri: Ruang Lingkup Kerja Polri Makin Luas

    Revisi UU Polri: Ruang Lingkup Kerja Polri Makin Luas

    Nasional
    Revisi UU Polri: Polisi Bisa Blokir-Batasi Akses Internet Publik demi Keamanan Dalam Negeri

    Revisi UU Polri: Polisi Bisa Blokir-Batasi Akses Internet Publik demi Keamanan Dalam Negeri

    Nasional
    Hari Ini, Karen Agustiawan Jalani Sidang Tuntutan Kasus Pengadaan LNG di Pertamina

    Hari Ini, Karen Agustiawan Jalani Sidang Tuntutan Kasus Pengadaan LNG di Pertamina

    Nasional
    Rekrutmen Calon Kepala Daerah: Cegah Politik Dinasti

    Rekrutmen Calon Kepala Daerah: Cegah Politik Dinasti

    Nasional
    Palestina Tak Kunjung Jadi Anggota PBB, Kemenlu: Masalahnya di Dewan Keamanan

    Palestina Tak Kunjung Jadi Anggota PBB, Kemenlu: Masalahnya di Dewan Keamanan

    Nasional
    Kemenag Minta Jemaah Haji Indonesia Patuhi Larangan Saat Berihram

    Kemenag Minta Jemaah Haji Indonesia Patuhi Larangan Saat Berihram

    Nasional
    Jokowi Kunker ke Sumsel, Akan Kunjungi RSUD hingga Gudang Bulog

    Jokowi Kunker ke Sumsel, Akan Kunjungi RSUD hingga Gudang Bulog

    Nasional
    KPK Akan Dakwa SYL atas Dugaan Gratifikasi Rp 60 M, TPPU Rp 104,5 M

    KPK Akan Dakwa SYL atas Dugaan Gratifikasi Rp 60 M, TPPU Rp 104,5 M

    Nasional
    24 WNI Ditahan karena Visa Palsu, Kemenag Wanti-wanti soal Tawaran Haji Tanpa Antre

    24 WNI Ditahan karena Visa Palsu, Kemenag Wanti-wanti soal Tawaran Haji Tanpa Antre

    Nasional
    Kejagung: Kasus Korupsi Emas 109 Ton Berbeda dengan Kasus Budi Said

    Kejagung: Kasus Korupsi Emas 109 Ton Berbeda dengan Kasus Budi Said

    Nasional
    Biduan Nayunda Nabila Mengaku Diberi Cincin oleh SYL

    Biduan Nayunda Nabila Mengaku Diberi Cincin oleh SYL

    Nasional
    Momen Jokowi dan Iriana 'Nge-vlog', Beri Semangat ke Warganet yang Berangkat Kerja  Pagi-pagi

    Momen Jokowi dan Iriana "Nge-vlog", Beri Semangat ke Warganet yang Berangkat Kerja Pagi-pagi

    Nasional
    Saat SYL Hamburkan Uang Negara dan Pribadi buat Biduan Nayunda...

    Saat SYL Hamburkan Uang Negara dan Pribadi buat Biduan Nayunda...

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com