Cernea (1997, 2003) menyebutkan, dalam setiap kasus pemindahan paksa, ”pemiskinan” merupakan salah satu dampak. Karena itu, perlu usaha perlindungan dan rekonstruksi hunian para korban. Dalam kasus Lapindo, pemerintah justru membiarkan terjadinya ketimpangan relasi kuasa korporasi dengan warga.
Mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (Perpres No 14/2007), seharusnya Lapindo melunasi sisa pembayaran 80 persen kepada warga pada awal 2009 (dua tahun setelah uang muka dibayarkan). Namun, Lapindo dengan alasan krisis keuangan mencicil pembayaran sisa tersebut, tetapi tidak selalu lancar.
Selama sebulan terakhir, sekelompok warga korban lumpur Lapindo menduduki tanggul penahan lumpur. Warga merasa masih memiliki hak atas wilayah yang sudah terendam lumpur itu karena Lapindo belum menuntaskan seluruh kewajibannya membayarkan tanah dan atau bangunan warga korban lumpur.
Pada Februari 2013, Presiden Yudhoyono hanya mengingatkan (bukan memerintahkan, apalagi menghukum) Lapindo untuk segera melunasi pembayaran itu. Nyatanya, sampai Mei ganti rugi yang menjadi tanggung jawab Lapindo belum juga tuntas. Ironis, aksi warga menuntut haknya itu justru dihentikan paksa oleh kepolisian Sidoarjo.
Awal Mei, Presiden menandatangani PP No 33/2013 tentang Perubahan Kelima atas Perpres No 14/2007 (Perpres 33/2013).
Secara substansi, Perpres No 33/2013 hanya merinci batas-batas wilayah terdampak yang sudah diputus sebelumnya dalam Perpres No 37/2012 tentang Perubahan Keempat atas Perpres No 14 (Perpres No 37/2012). Satu-satunya yang baru dalam Perpres No 33/2013 adalah pengaturan atas tanah dan/atau bangunan yang bersifat wakaf.
Kita bersyukur atas sikap pemerintah yang terus memantau perkembangan bencana lumpur Lapindo sekaligus merevisi segala kebijakan terkait. Namun, kita juga perlu terus mengingatkan, persoalan lumpur Lapindo bukan semata mengganti rugi tanah dan atau bangunan warga.