Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sukotjo Mengaku Beri Suap untuk Djoko Susilo

Kompas.com - 24/05/2013, 17:33 WIB
Sandro Gatra

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Direktur PT Inovasi Teknologi Indonesia (ITI) Sukotjo S Bambang mengakui mengeluarkan sejumlah uang untuk memuluskan proyek simulator ujian surat izin mengemudi roda empat (R4) dan roda dua (R2) di Korps Lalu Lintas Polri tahun anggaran 2011. Salah satunya untuk Inspektur Jenderal Djoko Susilo yang ketika itu menjabat Kepala Korlantas Polri.

Sukotjo menjelaskan, ia diminta oleh Direktur PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (CMMA) Budi Santoso untuk mentransfer ke rekening Primer Koperasi Polri (Primkoppol) Ditlantas Polri sebesar Rp 8 miliar. Dana itu ditransfer pada 13 Januari 2011.

"Tidak dijelaskan dana untuk apa. Belakangan itu untuk keperluan tanda nomor kendaraan bermotor," kata Sukotjo, saat bersaksi di sidang terdakwa Djoko Susilo di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (24/5/2013).

Sukotjo menambahkan, pada hari yang sama, ia kembali diminta oleh Budi uang tunai Rp 4 miliar. Uang Rp 2 miliar diminta Budi diantar ke pintu tol Pondok Gede. Ia lalu mengantar sendiri. Setelah itu, Sukotjo diminta mengantar uang Rp 2 miliar lainnya kepada Djoko di Gedung Korlantas Polri.

Uang tunai Rp 2 miliar itu dimasukkan Sukotjo ke dalam kardus spare part Honda. "Uang saya serahkan dan diterima sespri terdakwa (Djoko), yaitu Erna (Tri Hudi Ernawati)," kata Sukotjo. Sedianya, Erna bersaksi hari ini. Namun, tak hadir dengan alasan sakit.

Selain itu, tambah Sukotjo, ia kembali diminta transfer ke rekening Primkoppol sebesar Rp 7 miliar pada 14 Januari 2011. Ketika itu, Sukotjo, Budi, AKBP Teddy Rusmawan selaku Ketua Panitia Pengadaan Barang, dan beberapa orang lain tengah mengikuti acara safety riding di Singapura.

"Saat itu, Teddy di depan saya katakan ke Budi, 'Pak Budi Kakor minta Rp 7 miliar ditransfer'. Yang dimaksud Kakor itu Kepala Korps Lalu Lintas (Djoko). Dari permintaan itu, Budi minta ke saya, 'Kamu tolong transfer sekarang'. Saya hubungi bagian keuangan perusahaan saya untuk perintahkan transfer ke rekening Primkoppol," paparnya.

Tak hanya itu. Sukotjo mengaku kembali diminta transfer oleh Budi sebesar Rp 1,5 miliar ke rekening Mulyadi, pegawai Budi. Uang ditransfer pada 17 Januari 2011. Menurutnya, tak dijelaskan pula oleh Budi untuk apa uang tersebut.

Lalu, Sukotjo kembali mentransfer ke rekening dua orang, yakni Suripto sebesar Rp 1 miliar dan Mulyadi Rp 3,5 miliar. Kali ini, kata Sukotjo, Budi menjelaskan butuh uang untuk proyek simulator. Sukotjo kembali transfer ke Mulyadi Rp 2 miliar pada 18 Februari 2011.

"Pada 21 Februari, Budi terima lagi Rp 4 miliar. Saat itu dijelaskan Pak Kakor ada kebutuhan. Saya antar uang cash ke rumah Budi. Pada 25 Februari, saya diminta lagi Rp 1 miliar ditransfer ke Mulyadi," kata Sukotjo.

Selain pemberian uang tersebut, menurut Sukotjo, masih banyak penyerahan uang dengan jumlah jutaan rupiah kepada banyak orang, khususnya pihak Polri. Uang diserahkan selama proses tender.

PT ITI adalah perusahaan yang memproduksi simulator R2 dan R4. PT ITI mendapat order dari PT CMMA sebagai pemenang tender. Fakta persidangan, terjadi pengaturan agar PT CMMA memenangkan proyek yang sudah digelembungkan harga simulatornya per unit.

Ikuti berita terkait kasus ini dalam topik:
Dugaan Korupsi Korlantas Polri

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Jokowi Bakal Bisiki Prabowo Anggarkan Program Budi Daya Nila Salin Jika Menjanjikan

    Jokowi Bakal Bisiki Prabowo Anggarkan Program Budi Daya Nila Salin Jika Menjanjikan

    Nasional
    Ma'ruf Amin: 34 Kementerian Sudah Cukup, tetapi Bisa Lebih kalau Perlu

    Ma'ruf Amin: 34 Kementerian Sudah Cukup, tetapi Bisa Lebih kalau Perlu

    Nasional
    Ada Gugatan Perdata dan Pidana, KPK Mengaku Harus Benar-benar Kaji Perkara Eddy Hiariej

    Ada Gugatan Perdata dan Pidana, KPK Mengaku Harus Benar-benar Kaji Perkara Eddy Hiariej

    Nasional
    Jokowi Resmikan Modeling Budi Daya Ikan Nila Salin di Karawang

    Jokowi Resmikan Modeling Budi Daya Ikan Nila Salin di Karawang

    Nasional
    Jokowi Naik Heli ke Karawang, Resmikan Tambak Ikan Nila dan Cek Harga Pangan

    Jokowi Naik Heli ke Karawang, Resmikan Tambak Ikan Nila dan Cek Harga Pangan

    Nasional
    Sidang SYL, KPK Hadirkan Direktur Pembenihan Perkebunan Jadi Saksi

    Sidang SYL, KPK Hadirkan Direktur Pembenihan Perkebunan Jadi Saksi

    Nasional
    Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae dengan Korsel yang Belum Capai Titik Temu…

    Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae dengan Korsel yang Belum Capai Titik Temu…

    Nasional
    Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah, Minta PBB Bertindak

    Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah, Minta PBB Bertindak

    Nasional
    Ganjar dan Anies Pilih Oposisi, Akankah PDI-P Menyusul?

    Ganjar dan Anies Pilih Oposisi, Akankah PDI-P Menyusul?

    Nasional
    Kata Gibran soal Urgensi Adanya Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis

    Kata Gibran soal Urgensi Adanya Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis

    Nasional
    Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

    Riwayat Gus Muhdlor: Hilang Saat OTT, Beralih Dukung Prabowo, Akhirnya Tetap Ditahan KPK

    Nasional
    Cek Hotel dan Bus Jemaah Haji, Menag: Semua Baik

    Cek Hotel dan Bus Jemaah Haji, Menag: Semua Baik

    Nasional
    Menerka Peluang Anies dan Ahok Berduet pada Pilkada DKI Jakarta

    Menerka Peluang Anies dan Ahok Berduet pada Pilkada DKI Jakarta

    Nasional
    Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

    Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

    Nasional
    Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

    Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com