Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Intoleransi, Ancaman Paling Nyata

Kompas.com - 15/05/2013, 02:52 WIB

FERRY SANTOSO

Salah satu agenda besar reformasi yang digulirkan sejak 1998 adalah membangun demokrasi sehingga Indonesia dapat menjadi negara modern, maju, dan beradab.

Akan tetapi, dalam 15 tahun perjalanan reformasi, aksi kekerasan yang melanggar hak asasi manusia, khususnya warga minoritas, dapat mengancam kehidupan demokrasi ke depan. Nuansa kehidupan yang demokratis dan menjunjung tinggi kebinekaan dan keberagaman sebagai ”takdir” bangsa ini sempat terasa pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Kebijakan Gus Dur terkait demokrasi, kebinekaan, dan toleransi ibarat angin segar. Pasca-pemerintahan Gus Dur, dalam perjalanan reformasi, ancaman terhadap kehidupan demokrasi justru semakin terasa.

Berbagai kelompok vigilante dan kelompok intoleran semakin menunjukkan eksistensi. Berbagai kekerasan dengan berlatar belakang suku, agama, ras, dan antargolongan terkesan menjadi tidak terkendali. Kelompok-kelompok intoleran atau kelompok vigilante dinilai kerap mengganggu atau melanggar kebebasan beragama dan berkeyakinan. Hak dasar sebagai warga negara, yaitu bebas dari rasa takut dan mendapat perlindungan, semakin dilanggar.

Di sisi lain, peran negara (state), yang seharusnya mampu melindungi segenap warga negara, menjadi sangat lemah, bahkan dinilai tidak hadir dalam menjaga kerukunan hidup beragama dan berkeyakinan.

Sebagai contoh, kasus warga Ahmadiyah di beberapa tempat, kasus warga Syiah di Sampang, kasus pembangunan gereja di beberapa tempat, kasus sengketa lahan, sampai konflik antarkelompok preman.

Sebagai gambaran, dari data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), pada periode Januari-Mei 2013 terjadi 46 kasus dugaan pelanggaran dan kekerasan kehidupan beragama dan berkeyakinan. Artinya, dalam sebulan terjadi sembilan kali kasus pelanggaran dan kekerasan kehidupan beragama dan berkeyakinan atau dalam seminggu terjadi dua kasus.

Sayangnya, elite politik dan pejabat negara saat ini yang lahir dari hasil reformasi ibarat menutup mata terhadap kasus-kasus intoleransi. Perhatian elite politik dan pejabat negara terhadap kasus-kasus intoleran dinilai sangat rendah.

Direktur Program Imparsial Al Araf menilai, kasus-kasus kekerasan oleh kelompok intoleran sudah mengkhawatirkan. Hak-hak dasar kelompok minoritas, seperti hak untuk bebas dari rasa takut, mendapatkan rasa aman, dan bebas beribadah, makin sulit diwujudkan.

Hal itu dapat terjadi antara lain, lanjut Al Araf, karena perhatian pemerintah, termasuk elite politik, terhadap masalah intoleransi sangat rendah. ”Politisi, termasuk pejabat publik, lebih peduli dengan politik transaksional yang mementingkan kelompok politik dan partai politik, bukan mementingkan keadilan bagi semua warga masyarakat,” katanya.

Bahkan, tidak tertutup kemungkinan kasus-kasus pelanggaran dalam kehidupan beragama dan berkeyakinan yang mengarah pada aksi kekerasan dilatarbelakangi percaturan politik di tingkat lokal atau nasional. ”Elite politik kadang permisif terhadap kelompok intoleran karena tidak mau dianggap berlawanan dengan arus mainstream,” kata Al Araf.

Namun, realitas kadang berbeda. Di tengah kasus-kasus intoleran yang menjadi tren dalam perjalanan 15 tahun reformasi, pemerintah mungkin boleh berbangga. Mengapa?

Lembaga internasional The Appeal of Conscience Foundation merencanakan memberikan penghargaan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono karena dinilai mampu mengembangkan toleransi antarumat beragama di Indonesia.

Akan tetapi, rencana itu dikecam atau ditentang beberapa kalangan. Koordinator Badan Pekerja Kontras Haris Azhar menilai, Presiden Yudhoyono mengabaikan atau menutup fakta intoleransi kehidupan beragama dan berkeyakinan jika tetap menerima penghargaan sebagai pemimpin yang mengembangkan toleransi di antara umat beragama dari lembaga tersebut.

Tak sesuai

Pemberian penghargaan itu dinilai tidak sesuai dengan kondisi atau fakta kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Haris menilai Presiden Yudhoyono sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan tidak menggunakan kekuasaan dan kewenangan untuk menjaga kebebasan beragama dan berkeyakinan serta memberikan rasa aman kelompok minoritas.

Dalam kasus-kasus intoleransi, menurut Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Alvon Kurnia Palma, negara tidak hadir dalam menjaga rasa aman dan nyaman kelompok minoritas keagamaan untuk beribadah. ”Presiden seharusnya berpihak secara konkret kepada kelompok minoritas,” kata Alvon.

Sebelumnya, Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha mengatakan, Presiden akan tetap menerima penghargaan itu. ”Itu bentuk apresiasi dan penghargaan yang didasarkan penilaian organisasi independen,” ujarnya. Presiden pun mengatakan, jangan ada kesan pembiaran.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com