Hal tersebut disampaikan peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia R Siti Zuhro, pendiri Public Virtue Institute for Digital Democracy and Civic Activism Usman Hamid, peneliti Indonesia Corruption Watch Abdullah Dahlan, Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI Indonesia) Jeirry Sumampow, dan Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti di Jakarta, Selasa (23/4).
”Rakyat harus punya akses untuk mengetahui caleg. Inilah makna demokrasi partisipatoris, saat partisipasi warga masyarakat tidak boleh diabaikan atau dinafikan,” ujar Siti Zuhro.
Usman mengemukakan, salah satu cara bisa mengetahui apakah para calon politisi itu memiliki integritas atau tidak adalah melalui berkas rekam jejak. ”Lembaga-lembaga publik, seperti KPU, Panwaslu, juga melalui media massa, harusnya ikut membuka akses mengenai data para caleg,” kata Usman.
Abdullah mengatakan, parpol yang cenderung tertutup kemungkinan memasukkan nama- nama politisi bermasalah. KPU harus membuka diri soal daftar caleg sementara (DCS) yang telah disetor semua paprol. Komisi itu hendaknya memublikasikan DCS dan meminta masukan publik. Meski kewenangannya hanya pada aspek persyaratan administratif, KPU dapat berinisiatif membuka DCS.
”Parpol juga harus mau membuka DCS sebelum menjadi daftar caleg tetap. Ini positif karena bisa menghindarkan parpol dari kemungkinan mengusung figur bermasalah yang nanti membebani parpol,” katanya.
Jeirry mengungkapkan, aturan KPU umumkan DCS semestinya tak perlu menunggu daftar sempurna atau final agar publik bisa memberi masukan. Rakyat bisa meminta kepada parpol agar mengeluarkan orang-orang bermasalah dari DCS.
Ray mengingatkan, Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2013 membatasi perubahan caleg hanya karena syarat administratif tidak memenuhi persyaratan, meninggal dunia, atau mengundurkan diri. Jika perubahan DCS hanya bisa dilakukan karena tiga faktor itu, segala upaya membongkar caleg-caleg bermasalah secara moral, politik, atau kompetensi akan percuma. Pengumuman DCS akan bermakna bila peraturan itu direvisi.
”Revisi harus memasukkan perubahan caleg karena unsur keberatan masyarakat, misalnya adanya laporan warga atas perbuatan melenceng para caleg. Jadi, caleg sementara bisa digugurkan karena alasan-alasan substansial, bukan semata
Manajer Pemantauan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat Masykurudin Hafidz mengemukakan, tahap verifikasi pencalonan anggota DPR/DPRD rawan sengketa, terutama justru antarcaleg dalam satu parpol. Karena itu, KPU mesti cermat dan akurat dalam penelitian administratif terkait dengan pencalonan ini.