Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Demokratisasi Peradilan Militer

Kompas.com - 19/04/2013, 03:06 WIB

M ALI ZAIDAN

Meskipun belum final, temuan tim investigasi TNI AD patut diapresiasi. Langkah selanjutnya adalah bagaimana membawa kasus itu ke jalur hukum sehingga diperoleh keadilan yang wajar.

Jika tidak diwaspadai, tidak mustahil jebakan akan tetap menghadang dan mengakibatkan penanganan kasus tidak tuntas. Jebakan pertama menyangkut pertanyaan, apakah pelaku harus diadili di pengadilan umum atau pengadilan militer?

Terhadap pertanyaan ini telah muncul beberapa alternatif, misalnya dengan merevisi Undang-Undang (UU) tentang Peradilan Militer, dalam hal ini UU Nomor 31 Tahun 1997. Sebagaimana diketahui, pembahasan di badan legislasi mengalami kebuntuan sehingga nasib revisi UU menjadi terkatung-katung. Mungkinkah kasus ini menjadi amunisi baru bagi badan pembentuk UU untuk merampungkan tugasnya dan meletakkan peradilan militer dalam kerangka the rule of law architecture?

Kedua, tuntutan agar Presiden mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) agar perkara itu diadili di badan peradilan umum. Tampaknya, kelompok ini meragukan kredibilitas peradilan militer dalam menyelesaikan perkara tersebut secara tuntas.

Saling melengkapi

Kegusaran di atas dapat dipahami. Namun, dapat dikemukakan bahwa kedua alternatif di atas berisiko terjadinya peradilan yang berlarut-larut karena revisi UU atau berharap pemerintah mengeluarkan perppu justru tidak kondusif dilakukan saat ini. Presiden bahkan menyatakan agar persoalan itu diproses melalui jalur hukum yang adil (due process of law). Hal itu berarti harapan agar dikeluarkan perppu terlalu berlebihan.

Setelah penyelidikan, tim investigasi mengungkap dan mengerucut dengan 11 orang dengan aktor utama berinisial U. Maka, langkah selanjutnya adalah melakukan penyidikan terhadap para pelaku dengan menggunakan jalur hukum formal. Para pelaku tunduk pada yurisdiksi dan menjadi justitiabelen peradilan militer adalah fakta yang tidak dapat dibantah. Dengan demikian, pengadilan yang berwenang mengadili adalah peradilan militer. Terlalu gegabah menyatakan bahwa apabila pelaku diadili di peradilan militer, akan timbul ketidakadilan meskipun pengalaman tentang hal itu telah berbicara banyak kepada kita.

Ketika beberapa oknum melakukan penganiayaan terhadap seorang warga sipil di Papua, dan hal itu mendapat atensi dari sejumlah presiden dunia, antiklimaksnya berupa putusan yang menjatuhkan hukuman kepada para pelaku maksimum satu tahun. Mereka didakwa melanggar Pasal 139 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM), yakni dengan sengaja tidak memenuhi suatu panggilan tugas yang sah. Padahal, para pelaku jelas telah melakukan penganiayaan sebagaimana ditentukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Begitu juga dalam kasus Cebongan, para pelaku tidak cukup dikenakan pasal-pasal dalam KUHPM karena apa yang dilakukan pelaku tidak terdapat pengaturannya. Untuk menjawabnya, permasalahan tersebut harus dikembalikan kepada sejarah pembentukan kedua UU itu. Pada tahun 1799, di Belanda, rancangan KUHP dan KUHPM dibahas dan direncanakan selesai bersama-sama. Kemudian, pada tahun 1886, atas prakarsa Van Der Hoeven—Guru Besar Universitas Leiden—disadari bahwa tidak mungkin membuat dua UU dengan materi sama. Disadari bahwa KUHP merupakan lex generalis, sedangkan KUHPM adalah lex specialis.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com