Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah Setengah Hati

Kompas.com - 15/04/2013, 02:33 WIB

Jakarta, Kompas - Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dinilai setengah hati menempatkan anggota TNI yang melanggar hukum pidana umum ke peradilan umum dengan merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Padahal, penempatan anggota TNI yang melanggar hukum pidana umum ke peradilan umum tersebut sangat penting untuk menjunjung tinggi prinsip kesamaan di depan hukum dan melaksanakan amanat dan agenda reformasi.

Demikian rangkuman pendapat Direktur Program Imparsial Al Araf; pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Fajrul Falaakh; ahli hukum tata negara, Irmanputra Sidin; serta peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Wahyudi Djafar; di Jakarta, akhir pekan lalu.

”Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono memang masih setengah hati melakukan reformasi TNI, khususnya merevisi UU Peradilan Militer,” kata Al Araf.

Dia mengatakan, revisi UU Peradilan Militer merupakan salah satu indikator yang dapat menunjukkan apakah reformasi TNI sudah berjalan dengan baik atau belum.

Menurut Fajrul, pemerintahan SBY selama dua periode enggan menempatkan TNI yang melanggar hukum pidana umum ke peradilan umum. Pembahasan revisi UU No 31/1997 pernah dilakukan pada periode pemerintahan 2004-2009. Namun, pembahasan itu buntu (deadlock). Oleh karena itu, pemerintah dapat melanjutkan lagi pembahasan revisi UU No 31/1997 bersama DPR.

Seperti diberitakan, Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro menyatakan, 11 anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang diduga terlibat dalam penyerangan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB, Cebongan, Sleman, DI Yogyakarta, yang menewaskan empat tahanan titipan Polda DIY akan diadili di peradilan militer (Kompas, 12/4).

Dalam Pasal 3 Ayat (4) Butir (a) Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri disebutkan, prajurit TNI tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum. Ketentuan itu juga diatur dalam Pasal 65 Ayat (2) UU No 34/2004 tentang TNI.

Namun, Pasal 74 UU No 34/2004 menyebutkan, Pasal 65 tersebut berlaku pada saat UU baru tentang peradilan militer diberlakukan. Selama UU yang baru belum dibentuk, anggota TNI tetap tunduk pada ketentuan UU No 31/1997.

Irmanputra Sidin menilai, peradilan militer sebenarnya dimaksudkan untuk kondisi darurat ketika pengadilan sipil tidak dapat berlangsung. Peradilan militer hanya digunakan untuk situasi yang tidak normal.

”Itu filosofi munculnya peradilan militer. Jadi, sebetulnya tidak tergantung subyeknya bahwa anggota TNI harus diadili di peradilan militer. Pada masa darurat militer, orang sipil bisa saja dibawa ke peradilan militer ketika melakukan kejahatan dalam situasi konflik bersenjata,” ujar Irman.

Irman menambahkan, tidak setiap tindak pidana yang dilakukan anggota TNI harus diadili di peradilan militer. ”Masak kalau anggota militer melakukan kekerasan dalam rumah tangga, dia dibawa ke peradilan militer?” ujarnya.

Tak adil

Al Araf berpendapat, kelemahan peradilan militer, baik proses peradilan maupun putusan terhadap terdakwa, cenderung tidak adil dan tidak transparan. ”Lebih dari itu, peradilan militer membuat hak-hak tersangka dan terdakwa kurang dijamin, bahkan cenderung diabaikan,” katanya.

Padahal, lanjut Al Araf, prajurit sebagai warga negara memiliki hak yang sama dengan warga negara lain, yaitu mendapat pembelaan dan perlindungan hukum.

Wahyudi menambahkan, dalam proses peradilan militer, di tingkat penyidikan hingga pengadilan, pengaruh atasan atau pimpinan sangat kuat. ”Penyidik adalah atasan yang bersangkutan atau atasan yang berhak menghukum,” tuturnya. Dengan peran atasan yang dominan, dikhawatirkan penyidikan menjadi tidak independen.

Namun, Menteri Pertahanan mengatakan, UU No 31/1997 masih dapat dipakai, misalnya dalam kasus Cebongan. ”Saat ini, fokus Kementerian Pertahanan (Kemhan) bukan pada revisi UU Peradilan Militer,” katanya. Pasalnya, Kemhan menunggu pembahasan RUU Keamanan Nasional, RUU Komponen Cadangan, dan RUU Hukum Disiplin Militer.

Saat ditanya apakah ada resistensi dari militer terkait revisi UU Peradilan Militer, Purnomo menegaskan, pembuatan regulasi berada di Kemhan. ”Kami regulator. Militer ikut saja apa yang diputuskan Kemhan,” ujarnya.

Kepala Biro Hukum Kemhan Nurhajizah menyatakan, tidak ada masalah jika revisi UU No 31/1997 akan kembali dibahas.(ANA/EDN/ONG/WHY/ATO/FER)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com