Dari jendela pesawat yang kami tumpangi, sesaat sebelum mendarat di Bandar Udara Internasional Langkawi, puluhan kapal perang dari Kerajaan Malaysia, Singapura, Indonesia, bahkan Australia dan Rusia terlihat membentuk formasi di lepas pantai seolah siaga perang, laiknya adegan film
Begitu menginjakkan kaki di Bandara Internasional Langkawi, manuver akrobatik empat jet tempur Sukhoi Su-30 Mkm dan Boeing F/a–18 D dari Angkatan Udara Kerajaan Malaysia seolah menyambut kami, para pengunjung. Tidak lama kemudian terdengar suara menggelegar Rafale, jet tempur canggih dari pabrikan Dassault (Perancis), yang membentuk manuver berbentuk oval begitu lepas landas.
Manuver sulit dari pesawat tempur jenis
Dalam perbincangan dengan
Selain Dassault yang bermarkas di Perancis, pameran ini diikuti para pemasok alutsista ternama dari Eropa, Rusia, dan Amerika Serikat seperti Lockheed Martin, Eurofighter, EADS, dan Thales. Pameran yang pada intinya adalah promosi alutsista ini dihadiri para petinggi militer dan menteri pertahanan negara se-ASEAN, termasuk Menteri Pertahanan RI Purnomo Yusgiantoro.
Hingga penutupan, ungkap Ahmad, pameran itu membukukan kontrak senilai total 4,2 miliar ringgit (Rp 14,3 triliun). Angka ini setara dengan, misalnya, laba sepanjang 2012 yang diperoleh Bank Mandiri. ”Nilai (kontrak) ini didapat dari 24 kesepakatan yang hampir seluruhnya adalah berupa investasi di bidang pertahanan dan militer,” tuturnya.
Dalam pembukaan LIMA 2013, Perdana Menteri Malaysia Najib Tun Abdul Razak mengatakan, anggaran belanja militer di negara kawasan ASEAN terus meningkat. Terakhir, mencapai 13,5 persen. Tren kenaikan ini seiring dengan peningkatan ekonomi di kawasan ini. Bahkan, dalam cakupan yang lebih luas, total belanja alutsista di kawasan Asia telah melampaui Eropa dengan angka 315 miliar dollar AS pada 2012 (naik 5 persen dari 2011). Adapun total belanja alutsista di kawasan Eropa adalah 283 miliar dollar AS atau turun 1,5 persen dari 2011 akibat resesi ekonomi.
Dalam jamuan makan malam dengan para Kepala Staf Angkatan Laut se-ASEAN, Menteri Pertahanan Malaysia Ahmad Zahid Mahidi mengungkapkan, meningkatnya problematika keamanan di kawasan Selat Malaka akibat ancaman penyelundupan barang dan imigran, perompakan, serta terorisme menuntut kesigapan militer melalui pengadaan alutsista dan kerja sama operasi di antara negara anggota ASEAN.
Bagi negara-negara di kawasan ASEAN, kondisi meningkatnya belanja alutsista itu dimaknai sebagai tantangan sekaligus pula peluang. Bagaimanapun, negara di kawasan yang ekonominya tengah tumbuh berkembang ini tidak mau sekadar menjadi penonton atau pasar dari bombardirnya produk-produk alutsista negara maju.
Apalagi, dalam pertemuan Menteri Pertahanan se-ASEAN pada 2011 telah disepakati target pengurangan impor alutsista dari negara non-ASEAN, yaitu dari 25 miliar dollar AS pada 2010 menjadi hanya 12,5 miliar dollar AS pada 2020. Kesepakatan ini kemudian dituangkan dalam Kolaborasi Industri Pertahanan ASEAN (ADIC) yang juga mewarnai perhelatan LIMA 2013.
Indonesia, Singapura, dan Malaysia adalah tiga negara di kawasan ASEAN yang berada di barisan terdepan dalam industri dan pemenuhan kebutuhan alutsista di kawasan ini. Maka, tidak mengherankan jika dalam LIMA 2013, industri alutsista nasional dari ketiga negara tersebut turut aktif mengambil kue dari industri militer itu.
PT Dirgantara Indonesia (DI), misalnya, menjadikan ajang LIMA 2013 sebagai upaya pendekatan kepada calon pembeli di kawasan ASEAN sekaligus peningkatan kerja sama dengan industri di luar negeri. Sonny S Ibrahim dari Humas PT DI mengatakan, empat negara di ASEAN, seperti Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam, merupakan pasar utama produk pesawat buatan PT DI, seperti CN-235 seri 220 dan CN-235 seri ASW (antikapal selam).
Menurut dia, pesawat angkutan
Pihaknya pun optimistis menjadi salah satu produsen utama alutsista jenis pesawat dan helikopter (Super Puma) di ASEAN dan juga kawasan Asia lainnya. ”Dulu, kita sempat bersaing dengan EADS (Airbus Military). Namun, itu tidak lagi. Saat ini kami telah bekerja sama dan membagi wilayah (pasar). Bahkan, di
Sementara itu, Singapura memantapkan posisinya sebagai satu- satunya negara di ASEAN yang industri alutsistanya masuk daftar 20 besar dunia. Singapura memproduksi berbagai jenis alutsista, mulai dari senapan, peluncur roket rudal, senapan hingga tank dan artileri macam Broncos yang digunakan militer Inggris di Afganistan.
Malaysia tidak mau ketinggalan. Negara jiran ini berupaya mati-matian mengundang investor dari Eropa untuk kerja sama pengembangan industri alutsista. Ini salah satunya diwujudkan dalam megaproyek Malaysian Defence and Security Technology Park (MDSTP) di Perak. Dari total nilai kontrak 4,2 miliar ringgit yang dihasilkan dalam LIMA 2013, sebanyak 2,7 miliar ringgit di antaranya ditujukan untuk pembangunan fasilitas pengembangan teknologi industri alutsista nasional ini.
Menurut kantor berita Malaysia, Bernama, industri yang akan dikembangkan di MDSTP itu antara lain meliputi avionika, manufaktur radar kapal, dan kerja sama keamanan
Pemerintah Malaysia bersedia memberikan insentif khusus bagi industri dirgantara yang mampu menarik investasi asing ini. Sebab, seperti yang dikatakan Najib Tun Abdul Razak di dalam pembukaan LIMA 2013, industri dirgantara dan maritim merupakan sektor vital untuk investasi saat ini dan di masa depan negara seperti Malaysia yang berada tepat di jantung kawasan negara berkembang seperti Asia Tenggara.
Dengan kata lain, industri alutsista nasional bukan hanya menjadi pertaruhan kebanggaan dan harga diri bangsa, melainkan juga peluang meningkatkan kondisi kemandirian ekonomi negara.