Saya sangat tidak setuju dengan qanun itu. Sebab, luka lama, selain susah disembuhkan dengan cara itu, juga akan menimbulkan luka baru lagi. Beberapa tahun silam, ketika para tokoh bekas GAM hendak mendirikan partai politik GAM, mereka mendesakkan keinginan untuk menggunakan bendera tersebut sebagai bendera Partai Aceh. Jusuf Kalla sangat keras menolak. Saya keras menampik. Ini berarti kita tidak akan pernah melupakan yang lalu dan hendak menatap eloknya masa depan. Begitu posisi kami. Para tokoh bekas GAM setuju dengan itu. Bendera Partai Aceh pun berganti.
Selain itu, ketika kami berunding untuk perdamaian delapan tahun silam, kami menyepakati bahwa setelah perdamaian dicapai, semua simbol yang pernah digunakan GAM harus ditanggalkan dan tidak dipakai lagi. Ini mengikat.
Saya amat percaya qanun tersebut tak digelitik oleh keinginan separatisme. Orang Aceh sudah menikmati indahnya kedamaian. Para tokoh bekas GAM sudah mencapai keinginan politik mereka, memegang kemudi di Aceh. Ini semata-mata karena nostalgia masa silam mengenai kejayaan Kesultanan Aceh yang pernah mengibarkan bendera mirip bendera dalam qanun itu. Kedua, ini hanya soal cara dan pendekatan belaka.
Dalam Nota Kesepakatan Damai antara Pemerintah dan GAM secara eksplisit ditegaskan, bila di kemudian hari ada perbedaan pandangan atau persepsi tentang aplikasi nota kesepahaman ini, kedua belah pihak bisa duduk bersama membicarakannya. Mekanisme ini yang lebih baik ditempuh dulu. Biarlah para tokoh bekas GAM itu kembali duduk dengan para wakil pemerintah untuk mencari solusi. Megafon diplomasi dari Jakarta amat tidak tepat digunakan, apalagi bila disertai dengan gertakan.
Duduk berhadapan langsung membicarakan masa depan anak-anak Aceh jauh lebih efektif. Duduk semeja mempercakapkan kemakmuran Aceh tanpa menggunakan bendera itu jauh lebih efisien dan bermartabat daripada ultimatum.
Bila salak senjata bisa dihentikan, bila teror bisa diredam, bila bunuh-membunuh dapat dieliminasi melalui perundingan, soal bendera apalagi....