Jakarta, Kompas
Ahli gempa dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Irwan Meilano, Minggu (7/4), mengatakan, gempa yang mengguncang Papua itu dipicu sesar geser dari Highland Thurst Belt (HTB) Papua atau dikenal sebagai lajur Sesar Pegunungan Tengah mengakumulasi 3 milimeter konvergensi Lempeng Australia dan Pasifik. ”Walaupun mekanisme kegempaan yang dominan terjadi pada HTB, yaitu sesar naik, beberapa sumber gempa juga memiliki mekanisme sesar geser seperti sesar Direwo,” katanya.
Berdasarkan pengamatan global positioning system (GPS), menurut Irwan, kecepatan konvergensi dari Papua (bagian Lempeng Australia) terhadap Lempeng Pasifik mencapai 110 mm/tahun. ”Sekitar 80 persen dari konvergensi ini terjadi sistem tektonik di daratan Papua, yaitu pada HTB, Mamberamo Thrust Belt, sesar aktif (Sorong-Yapen, Tarera Aiduna, dan beberapa sesar lain). Sisanya, pada zona subduksi di utara Papua, yaitu New Guinea Trench,” katanya.
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, daerah Tolikara dan sekitarnya memang berada pada zona bahaya tinggi gempa bumi. Kejadian gempa pernah terjadi di kawasan ini pada 1926 bermagnitudo 7,9 dan 1971 dengan magnitudo 8,1.
Gempa dua hari lalu dilaporkan menewaskan dua orang, yaitu Jefron Wenda (10) dan Roni Wenda (17), warga Kampung Telagembui, Distrik Kembu, akibat longsor pascagempa.
Gempa itu memiliki skala VI MMI (dirasakan kuat) di Tolikara, V MMI (sedang) di Mulia, IV MMI (ringan) di Tanah Merah, Sentani, Wamena, Jayapura, dan III-IV di Sarmi.
Longsor terparah di Distrik Kembu, sedangkan di Distrik Karubaga, dilaporkan warga terluka. Selain itu, di Tolikara sejumlah kios roboh dan rusak, serta dua orang terluka. ”Pendataan masih terus dilakukan,” kata Sutopo. Pusat gempa berskala 6 MMI, berada di kawasan hutan.