Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

RUU KUHP dan RUU KUHAP

Kompas.com - 06/04/2013, 02:56 WIB

Ide pembahasan paralel kedua RUU itu rentan inkonsistensi capaian misi konsolidasi penyusun RUU KUHP, dan berlawanan dengan tujuan keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan. Kekhawatiran lain, untuk mewujudkan misi konsolidasi, korporasi dicantumkan sebagai subyek tindak pidana (Bagian Buku Kedua, Pertanggungjawaban Pidana, paragraf 6). Langkah maju itu perlu dirumuskan secara teliti dalam tanggung jawab korporasi karena korporasi bukan manusia yang memiliki mens rea dan nurani.

Kedua, entitas korporasi abad ke-21 sangat kompleks, berbeda dengan ketika masih disebut ”perusahaan dagang” (koophandel) sehingga perumusan tidak mempertimbangkan asas proporsionalitas dan asas subsidiaritas (Remmelink, 2003) dan pendekatan ilmu ekonomi terhadap hukum: asas maksimalisasi, efisiensi, dan keseimbangan (Cooter dan Ullen, 2004).

Menempatkan korporasi sebagai subyek tindak pidana bukan tanpa risiko ekonomi nasional karena berakibat perilaku korporasi tidak lagi hanya semata-mata aspek hukum perdata, melainkan juga memiliki karakter ganda, yaitu bermuatan aspek hukum perdata sekaligus aspek hukum pidana. Sering dalam praktik hukum di Indonesia, perilaku korporasi memasuki wilayah abu-abu (grey areas).

Di era globalisasi, penempatan korporasi sebagai subyek tindak pidana dalam RUU KUHP akan kontraproduktif. Penempatannya yang hanya pada tindak pidana tertentu akan merugikan. Padahal, pelaku korporasi bisa pengurusnya residivis, tidak beritikad baik memasukkan devisa kepada negara seperti tindak pidana ekonomi, tindak pidana di bidang sumber daya alam, tindak pidana terorisme, tindak pidana pencucian uang, korupsi, serta tindak pidana di bidang pertahanan dan telekomunikasi.

Aspek prosedural

Kekhawatiran terakhir, sekalipun RUU KUHAP disusun untuk tujuan perlindungan HAM tersangka/terdakwa, penyusun lebih mengutamakan aspek prosedural yang tampak berlebihan dibandingkan dengan aspek substansial, yaitu menciptakan kepastian hukum dan keadilan berlandaskan asas maksimalisasi, efisiensi, dan keseimbangan (Cooter dan Ullen, 2004); bahkan berlawanan dengan asas proporsionalitas dan asas subsidiaritas. Hal ini akan menjadi hambatan serius perencanaan hukum nasional khususnya rancangan strategis pemberantasan korupsi, terorisme, dan pencucian uang.

Dalam pembahasan di DPR, kedua RUU dengan total 1.051 pasal tentu memerlukan waktu cukup dan pemikiran yang jernih dan teliti karena kedua RUU merupakan jantung perlindungan kedaulatan negara, kedaulatan individu, dan komunitas masyarakat yang berasaskan kekeluargaan. Jangan sampai demi mempertahankan kepastian hukum, keadilan, dan perlindungan HAM, keutuhan bangsa dan Negara Kesatuan RI terkoyak.

ROMLI ATMASASMITA Guru Besar Emeritus Unpad

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com