Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Parpol dan Negarawan

Kompas.com - 03/04/2013, 02:23 WIB

Kembali kepada pokok bahasan kita, semua yang naik ke posisi RI 1 pasti melalui partai atau pernah terlibat dalam perjuangan kepartaian. Soekarno lewat PNI. Soeharto dan Habibie diusung Golkar yang sepenuhnya berfungsi sebagai partai sekalipun ketika itu berlindung di balik nama Golongan Karya. Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono masing-masing diusung PKB, PDI-P, dan Partai Demokrat.

Sebelum tahun 2004, tidak ada presiden RI yang dipilih secara langsung. Dengan perubahan Pasal 7 UUD 1945, sejak tahun 2004 presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung lewat kendaraan partai.

Masalah serius yang diidap partai-partai politik sejak beberapa tahun terakhir adalah hilangnya kemandirian dalam hal keuangan karena sangat bergantung kepada dana negara, baik anggaran resmi maupun lewat cara-cara ilegal. Selain itu, hampir tidak ada parpol yang secara sungguh-sungguh melakukan pendidikan politik untuk melatih kadernya menjadi negarawan. Dengan fakta ini, adalah sia-sia berharap dari partai dalam tempo dekat akan munculnya para negarawan.

Dengan tingginya angka terpidana di kalangan gubernur, bupati, dan wali kota di seluruh Indonesia yang semuanya memakai kendaraan partai untuk naik, tidak ada kesimpulan lain yang tepat kecuali partai politik telah gagal mencetak para negarawan dan birokrat yang jujur sebagai pejabat publik. Akibat langsungnya adalah masyarakat luas belum terlayani kepentingan primernya.

Akhirnya, sampai detik ini pertanyaan dalam bentuk ”Quo vadis partai politik?” belum juga terjawab. Dengan demikian, tingkat peradaban demokrasi Indonesia yang tercermin dalam kelakuan elite partai masih sangat rendah, kumuh, dan sarat masalah. Dengan kata lain, partai bukan sebagai penyangga negara, tetapi malah sebagai beban negara.

Negara telah lama menjadi sapi perahan elite politik partai, terutama partai yang terlibat dalam mesin kekuasaan. Apakah Indonesia akan terus berada di lorong buntu ini? Sebagai bangsa merdeka, mestinya lorong buntu itu diterobos secara berani melalui proses demokrasi.

Dapatkah Pemilu 2014 menjebol jalan buntu yang menghadang sistem demokrasi bagi tegaknya keadilan dan meratanya kesejahteraan rakyat? Mari kita beri jawaban positif terhadap pertanyaan kunci ini dengan membuang sikap apatis terhadap masa depan Indonesia, negeri yang sama-sama kita cintai dan sedang menanti pembelaan seluruh anak bangsa yang bebas dari mentalitas budak.

Ahmad Syafii Maarif Pendiri Maarif Institute

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com