Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

KPK Tak Perlu Izin Penyadapan

Kompas.com - 21/03/2013, 03:19 WIB

Jakarta, Kompas - Komisi Pemberantasan Korupsi tak perlu izin pengadilan saat menyadap. Polemik soal ketentuan izin bagi penegak hukum dalam menyadap, tak terkecuali KPK, sebatas naskah akademik dan tidak dimasukkan dalam draf revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

”Itu, kan, memang naskah akademik, jadi masih berupa masukan dari mana-mana. Naskah akademik tidak mengikat. Rumusan RUU KUHAP yang menjadi pegangan dan pembahasan di DPR. Dalam draf revisi KUHAP, pasal per pasalnya tak akan mengatur soal izin penyadapan bagi KPK. KPK, kan, UUnya lex specialis, jadi tak perlu izin penyadapan,” kata Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin di Jakarta, Rabu (20/3).

Izin pengadilan bagi penegak hukum dalam melakukan penyadapan tak berlaku bagi KPK. Pengecualian itu akan diatur secara tegas (tersurat) dalam KUHAP.

”(Pengecualian KPK) pasti akan tersurat. Kalau RUU-nya perlu kejelasan, akan kita pertegas. Termasuk revisi naskah akademik jika diperlukan,” ujar Wakil Menkumham Denny Indrayana, secara terpisah.

Denny menjelaskan, pemerintah tak akan pernah melemahkan KPK. UU KPK tetap bersifat lex specialis, sedangkan KUHAP bersifat lex generalis. ”Kami tegaskan, pemerintah tetap mendukung KPK yang luar biasa dalam memberantas korupsi. Karena itu, yang akan pemerintah berikan kepada KPK adalah dukungan, bukan pelemahan,” ujarnya.

Amir juga menyatakan hal senada. Pemerintah sama sekali tak berkeinginan memperlemah KPK melalui ketentuan izin menyadap bagi lembaga pemberantas korupsi itu. Malah, bila perlu, secara khusus revisi KUHAP memuat ketentuan bahwa KPK tak perlu izin menyadap. ”Jadi, tak ada maksud pemerintah memperlemah KPK. Kami berterima kasih telah diingatkan,” katanya.

Pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Indriyanto Seno Adji, mengatakan, KPK memiliki kewenangan menyadap sesuai ketentuan UU KPK. Karena itu, dalam RUU KUHAP tidak perlu diatur lagi ketentuan pengecualian terhadap KPK. ”Sifat eksepsional dalam RUU KUHAP tetap diberikan kepada institusi yang telah memiliki UU pokok yang memberikan kewenangan menyadap,” katanya.

Namun, menurut Indriyanto, KPK yang telah melakukan penyadapan sebenarnya juga harus memberitahukan kepada hakim atau hakim pemeriksa pendahuluan. Hal itu diperlukan, antara lain, sebagai sarana kontrol agar kewenangan yang diberikan UU itu tak disalahgunakan. ”Harus ada mekanisme kontrol. Kalau tidak, bisa terjadi abuse of power. Apalagi, penyadapan terkait dengan hak-hak privat seseorang,” ujarnya.

Pakar hukum pidana dari Universitas Cendana (Undana), Kupang, Bernard L Tanya, mengatakan, KPK tak perlu mengantongi izin hakim komisaris dalam pelaksanaan penyadapan karena penyadapan merupakan langkah khusus dan rahasia yang selama ini ditempuh KPK. Langkah itu terbukti sangat efektif dalam pengungkapan korupsi. Proses izin melalui hakim komisaris justru berpotensi kontraproduktif karena dimungkinkan bocor. ”Jadi, izin penyadapan itu tak perlu. Kontrol terhadap pelaksanaan penyadapan cukup melalui audit rutin dan periodik,” katanya.

Karolus Kopong Medan, juga pakar hukum pidana dari Undana, menekankan, mekanisme penyadapan sebagaimana dirancang dalam Pasal 83 KUHAP itu mengindikasikan bahwa pemerintah masih ”setengah hati” memberikan kepercayaan kepada KPK. Membongkar dugaan kasus korupsi membutuhkan reaksi cepat dan tepat. Mekanisme birokratis yang mengharuskan izin penyadapan dari hakim komisaris justru akan memperlambat langkah KPK.

Anggota Komisi III DPR, Ahmad Yani, mengatakan, revisi sangat dimungkinkan terhadap isi draf RUU KUHP dan RUU KUHAP yang disusun pemerintah. Namun, pemerintah tak dapat lagi merevisi naskah akademik yang mereka susun untuk dua RUU itu karena sudah diserahkan ke DPR.

Saat ini, ujar Yani, Komisi III masih mempelajari draf kedua RUU itu. Komisi III juga sedang meminta masukan masyarakat atas dua draf itu. ”Minggu lalu, saat kunjungan ke Universitas Diponegoro, Semarang, ada sejumlah masukan menarik. Misalnya, bagaimana jika lembaga penyidik dibuat tersendiri? Juga muncul pertanyaan, apakah hakim pemeriksa pendahuluan bisa diaplikasikan?” kata Yani.

Komisi III, menurut Yani, sudah membentuk panitia kerja untuk membahas draf RUU itu. Kedua RUU itu ditargetkan dapat disahkan menjadi UU sebelum DPR periode 2009-2014 mengakhiri tugasnya.

Menurut Amir, pemerintah juga masih membutuhkan masukan banyak pihak dalam merevisi KUHAP. ”Ini akan kami sosialisasikan secara maksimal. Kami masih butuh masukan dari banyak pihak, termasuk tentu nanti dari KPK,” katanya.

Libatkan KPK

Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan, seharusnya sebagai salah satu pengguna ketentuan dalam KUHAP, KPK memang harus ikut dilibatkan dalam pembahasan revisi. Jadi, tidak hanya lembaga penegak hukum lain seperti kepolisian dan kejaksaan.

”Revisi suatu peraturan harus melibatkan para pihak yang berwenang dan terkait serta melibatkan publik secara luas. Itu sebabnya, revisi KUHAP harus melibatkan Kepolisian, Kejaksaan, Mahkamah Agung, dan KPK, selain perguruan tinggi, pusat-pusat studi, LSM, dan aktivis yang bergerak di bidang penegakan hukum,” kata Bambang.

Pemerintah, ujar Juru Bicara KPK Johan Budi SP, sebaiknya juga jangan mempertentangkan KUHAP yang akan direvisi dengan UU KPK yang memang menganut asas lex specialis. ”KPK punya UU sendiri yang sifatnya lex specialis. Kami belum tahu persis apakah revisi KUHAP itu mengatur juga soal penyadapan yang dilakukan KPK. Namun, jika mengaturnya, sebaiknya jangan bertentangan dengan UU yang ada,” katanya.

Sesuai UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, lembaga superbody ini memiliki kewenangan penyadapan tanpa izin pengadilan. Sejumlah kasus korupsi besar yang berhasil diungkap KPK antara lain didahului penyadapan yang mereka lakukan.

RUU KUHAP yang terdiri dari 18 bab dan 286 pasal itu diharapkan menghadirkan sistem peradilan yang lebih maju dan memberikan rasa keadilan. Sebetulnya banyak hal baru dalam RUU KUHAP itu antara lain ada hakim pemeriksa pendahuluan, konsep plea bargaining (negosiasi atas tuntutan) dengan pemeriksaan jalur khusus, konsep pemeriksaan saksi mahkota, dan penyadapan.

Hakim pemeriksa pendahuluan adalah pejabat yang berwenang menilai penyidikan dan penuntutan serta kewenangan lain. Hakim pemeriksa pendahuluan mirip hakim praperadilan saat ini. Konsep plea bargaining dengan pemeriksaan jalur khusus bisa dikaitkan dengan justice collaborator.(ANA/BIL/FER/ANS/NWO)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com