Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cegah Politik Dinasti dengan Pemilu Serentak

Kompas.com - 21/03/2013, 02:25 WIB

Situasi tersebut memaksa koalisi parpol memilih pasangan calon pejabat eksekutif yang elektabilitasnya paling tinggi demi merebut jabatan eksekutif, yang akan mengatrol perolehan kursi legislatif. Koalisi besar menjadikan jumlah pasangan calon terbatas, yang berarti juga membatasi gerak politik dinasti.

Lebih penting lagi, jika pemilu dilaksanakan serentak, tampilnya calon-calon dinasti akan terlihat jelas di mata publik sehingga parpol dan calon akan tampak buruk di mata masyarakat. Karena hal ini akan berdampak pada perolehan kursi parpol keterpilihan calon-calon, maka parpol berpikir seribu kali untuk menampilkan calon-calon dari satu keluarga.

Selanjutnya, ruang politik dinasti akan makin sempit apabila pemilu serentak dilakukan secara nasional atau per provinsi. Pilkada yang berbeda waktu menyebabkan kerabat penguasa lokal bisa mencalonkan diri di daerah mana saja yang sedang menggelar pilkada. Apalagi calon kepala daerah tidak diharuskan berdomisili di daerah yang bersangkutan.

Penggabungan pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu eksekutif tidak dilarang konstitusi sehingga bisa saja dirancang pemilu serentak total nasional, yakni satu hari H pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, presiden dan wakil presiden, serta kepala daerah dan wakil kepala daerah. Namun, cara ini banyak hambatan teknis karena beban penyelenggara terlalu besar untuk menyiapkan administrasi pemilu. Selain itu, pemilih menghadapi banyak kesulitan saat di bilik suara karena harus menghadapi begitu banyak calon yang harus mereka pilih.

Langkah paling rasional membagi dua pemilu serentak: pemilu nasional dan pemilu daerah. Pemilu nasional untuk memilih DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden yang dilaksanakan pada tahun pertama dari siklus lima tahunan pemilu; sedang pemilu daerah untuk memilih DPRD dan kepala daerah yang dilaksanakan pada tahun ketiga.

Cara ini juga menjadikan pemilu daerah sebagai pengontrol kinerja pemerintahan hasil pemilu nasional. Sebab, jika koalisi yang memenangi pemilu nasional kinerjanya buruk, mereka akan dihukum oleh pemilih pada pemilu daerah. Dengan demikian, hal ini memaksa koalisi pemenang pemilu nasional bekerja maksimal agar mereka tetap mendapatkan kepercayaan dalam pemilu daerah.

Dengan demikian, pemilu serentak dengan format pemilu nasional dan pemilu daerah akan efektif menghambat pergerakan politik dinasti. Oleh karena itu, yang harus dilakukan adalah menyiapkan UU pemilu yang mengarah ke sana. RUU Pilkada yang sedang dibahas saat ini harus memuat ketentuan-ketentuan yang mengarahkan terselenggaranya pemilu serentak, dengan membuat peraturan peralihan untuk menjadwal kembali pilkada serentak.

Didik Supriyanto Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com