Kota Agung, Kompas -
Kawasan hutan lindung meliputi empat kabupaten di Lampung, yakni Tanggamus, Lampung Tengah, Pringsewu, dan Lampung Barat, yang dipenuhi tanaman produksi kopi dan kakao. Tanaman ini bahkan memenuhi lereng curam berkemiringan 50 derajat di kawasan hulu sungai dan mata air yang mengalir ke Waduk Batutegi, Tanggamus.
Wahyudi, warga Ulu Belu, mengatakan, kerusakan hutan di sana mulai pasca-Reformasi 2008. ”Kawasan itu sumber penghidupan warga saat ini. Banyak yang terpaksa menggantungkan hidup dari itu (menanami kopi secara ilegal),” tuturnya, Kamis (28/2).
Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Batutegi Ruchyansyah mengatakan, berdasar citra satelit oleh Kementerian Kehutanan tahun 2011, diketahui 76 persen dari total luas kawasan ini berubah fungsi jadi perkebunan liar. Mayoritas perkebunan kopi.
Atas nama meredam laju kerusakan, pemerintah pusat memberlakukan pola hutan kemasyarakatan (HKM). Itu untuk mengakomodasi warga yang biasa memanfaatkan kawasan hutan. ”Sudah ada 20 gapoktan (gabungan kelompok petani) yang masuk HKM. Sebagian sudah mengantongi izin, sebagian lagi diproses di pusat,” ujarnya.
Ia berharap pola pemanfaatan hutan kemasyarakatan memberi perubahan terhadap kondisi areal hutan lindung itu. ”Awalnya, dengan HKM ini, hutan memang akan terlihat jelek. Namun, dengan pola multicropping (tanaman), akan bagus. Hasilnya terlihat 5-0 tahun,” ujarnya.
Pola HKM memungkinkan masyarakat tetap memanfaatkan kawasan hutan untuk menanam kopi. Namun, mereka wajib menanami sebagian kawasan dengan tanaman kayu atau buah sehingga kelestarian hutan terjaga.
Penggundulan di kawasan hutan lindung Batutegi menarik perhatian Pertamina Geothermal Energy (PGE). Manajer Umum PGE Unit Ulu Belu Khairul Rozak mengatakan, jika tidak dihentikan, kerusakan hutan lindung di sana mengancam keberlangsungan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Ulu Belu yang baru saja dioperasikan.
Energi panas bumi juga sangat bergantung pada kondisi reservoir air di kawasan hutan di sekitar sumur-sumur eksplorasi panas bumi.
”Semua proyek geotermal di mana pun sangat berkepentingan dengan kondisi hutan agar tidak rusak. Sayangnya, itu (upaya perlindungan hutan) di luar kewenangan kami,” ujarnya.
Ali Ashat, pengamat energi panas bumi dari Institut Teknologi Bandung, mengatakan, dari sekitar 29.000 megawatt (MW) potensi panas bumi di Indonesia, 43 persen di antaranya ada di kawasan konservasi dan hutan lindung.