JAKARTA, KOMPAS.com - Permintaan Presiden agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera memperjelas status Anas Urbaningrum terkait kasus dugaan korupsi Hambalang, dinilai sebagai pelanggaran komitmen. Sebelumnya, dalam kasus berbeda, Presiden berulang kali menyatakan tidak akan mengintervensi proses hukum.
"Seorang Presiden meminta, itu sudah intervensi. Presiden harus konsisten," kecam mantan Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas, dalam diskusi di Jakarta, Rabu (6/2/2013). Menurut dia, Presiden seharusnya tak boleh mengintervensi KPK, karena peraturan-perundangan sudah jelas menyatakan KPK adalah lembaga negara yang independen dan superbody.
"Kita jangan mendesak KPK, karena itu bisa dikatakan intervensi. Kita hanya bisa berharap pada KPK, itu bangus," ujar Erry. KPK, imbuh dia, tidak dapat menetapkan seseorang menjadi tersangka, bila hanya berdasarkan ukuran opini publik.
Lagi pula, KPK menetapkan seseorang menjadi tersangka harus benar-benar berdasarkan alat bukti yang cukup. Karena KPK tak seperti polisi dan kejaksaan yang dapat menghentikan penyidikan. Penetapan tersangka oleh KPK hanya dapat dilakukan ketika sudah pada tahap penyidikan.
Presiden SBY sebagai Ketua Dewan Pembina Demokrat, dalam jumpa pers dari Jeddah, mengatakan kemerosotan elektabilitas Partai Demokrat antara lain merupakan akibat sejumlah kadernya berurusan dengan KPK. Menurut SBY, timbul kegusaran di internal partainya karena ada kesan penanganan kasus terkait kadernya dibiarkan berlarut-larut. "Sudah hampir dua tahun dibiarkan tak menentu," kata SBY.
Karenanya, SBY meminta KPK menjalankan tugas sebaik-baiknya, tidak boleh tebang pilih. Menurut SBY, penyelesaian kasus yang terkatung-katung di KPK memberi dampak kemerosotan terhadap posisi Partai Demokrat. "Apalagi ada media tertentu yang terus-menerus memberitakannya," lanjut dia.
Presiden meminta KPK segera menuntaskan berbagai kasus secara tepat dan jelas. "Jika salah katakan salah, jika benar katakan benar. Termasuk kasus Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang mendapat sorotan luas masyarakat, tetapi KPK belum menentukan putusannya," tutur dia.
Berita terkait dapat pula dibaca dalam topik Demokrat "Terjun" Bebas
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.