JAKARTA, KOMPAS.com — Tim jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mempertimbangkan sejumlah hal yang memberatkan dan meringankan dalam menyusun tuntutan Neneng Sri Wahyuni, terdakwa kasus dugaan korupsi proyek pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi tahun anggaran 2008. Salah satunya terkait pelariannya ke luar negeri sehingga sulit diproses hukum KPK.
"Hal-hal yang memberatkan, terdakwa menerima keuntungan tidak sah, berbelit-belit, tidak merasa bersalah dan mengakui kesalahannya, perbuatannya tidak sejalan dengan program pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, dan terdakwa pernah melarikan diri ke luar negeri," kata Jaksa Guntur Ferry saat membacakan amar tuntutan dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (5/1/2013).
Sekadar informasi, Neneng melarikan diri ke luar negeri bersama suaminya, Muhammad Nazaruddin. Neneng pun tertangkap di kediamannya pada 13 Juni 2012 setelah masuk ke Indonesia melalui jalur ilegal di Batam.
Sebelum tertangkap, dia sempat tinggal di Malaysia dan meminta bantuan dua warga negara negeri jiran itu untuk menyelundupkannya ke wilayah Indonesia. Kedua warga negara Malaysia itu kini menjalani proses persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta karena didakwa menghalang-halangi penyidikan KPK dengan membantu pelarian Neneng.
Jaksa pun menuntut majelis hakim menghukum Neneng dengan pidana penjara tujuh tahun ditambah denda Rp 200 juta, yang dapat diganti enam bulan kurungan. Jaksa juga menuntut agar Neneng dibebankan untuk membayar uang pengganti kerugian negara senilai Rp 2,6 miliar.
Untuk hal-hal yang meringankan, Neneng dianggap memiliki tanggungan keluarga, yakni tiga anak yang masih kecil, serta pernah dihukum.
Menurut jaksa, Neneng terbukti melakukan perbuatan melawan hukum secara bersama-sama untuk menguntungkan dirinya, perusahaan, atau pihak lain dalam proyek PLTS. Berdasarkan fakta hukum, kata jaksa, perbuatan ini berawal sejak proses lelang belum berlangsung. Suami Neneng, Muhammad Nazaruddin, memberikan uang 50.000 dollar AS kepada pejabat Kemennakertrans untuk memengaruhi pejabat agar memenangkan Neneng dalam proyek PLTS. Namun, jaksa tidak menyebutkan siapa pejabat Kemennakertrans yang diberi uang oleh Nazaruddin itu.
Selanjutnya, Neneng, melalui anak buahnya, Mindo Rosalina Manulang dan Marisi Martondang, membuat kesepakatan dengan pejabat pembuat komitmen proyek Timas Ginting. Mereka sepakat untuk mengubah hasil uji komponen produk PT Alfindo Nuratama sehingga memenuhi persyaratan teknis, dan perusahaan itu ditetapkan sebagai pemenang.
"Setelah Alfindo ditetapkan sebagai pemenang, di mana telah menerima pembayaran, rekening Alfindo dikuasai dan dicairkan terdakwa (Neneng)," kata Jaksa Guntur.
Dalam pelaksanaannya, menurut jaksa, Neneng mengalihkan pengerjaan utama proyek PLTS ke PT Sundaya Indonesia dengan sepakat memberikan fee kepada Direktur Utama PT Alfindo Nuratama, Arifin Ahmad. Pengalihan pekerjaan utama kepada PT Sundaya Indonesia ini dianggap melanggar Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.
Perbuatan Neneng ini juga dianggap merugikan keuangan negara senilai Rp 2,7 miliar. Setelah PT Alfindo menerima pembayaran proyek PLTS Rp 8 miliar, Neneng memerintahkan anak buahnya, Yulianis, untuk membayarkan uang Rp 5,2 miliar ke PT Sundaya Indonesia.
"Dengan demikian, selisihnya Rp 2,7 miliar terbukti sebagai kerugian negara," kata jaksa.
Atas tuntutan ini, Neneng dan pihak pengacaranya akan mengajukan pledoi atau nota pembelaan yang dijadwalkan pada Kamis (14/2/2013) pekan depan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.